Kamis, 19 Januari 2012

evaluasi pemekaran daerah


EVALUASI PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Pengertian
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Artikel ini membahas mengenai sejarah pemekaran wilayah di Indone

1.2            Latar Belakang
Tata pemerintahan yang baik tentu menjadi dambaan semua pihak, baik birokrat ataupun masyarakat. Birokrasi diharapkan dapat menyesuaikan ‘diri” dengan keadaan yang sedang berkembang. Mutu pelayanan yang diberikan birokrasi akan sangat menentukan kepuasan pelanggan yang akan berdampak langsung pada organisasi tersebut. Saat ini banyak harapan yang ditumpukan kepada organisasi publik, agar kedepan dapat memberikan pelayanan yang maksimal.

Otonomi daerah merupakan wujud dari upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang lebih maksimal bagi masyarakat. Sehingga diharapkan, dengan adanya otonomi daerah masyarakat mendapatkan apa yang menjadi harapannya selama ini, karena pelayanan langsung dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah diatur dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya disempurnakan, dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Yang bermakna desentralisasi kekuasaan (dari sebelumnya kekuasaan terpusat ) ditandai dengan beralihnya beberapa kewenangan pemerintah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kewenangan yang diberikan dalam UU tersebut menjadikan kewenangan pemerintah daerah menjadi lebih besar dari sebelumnya.

Dengan semangat otonomi daerah itu pulalah muncul wacana-wacana melakukan pemekaran wilayah, yang ‘katanya” untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan, dan memudahkan pelayanan publik kepada masyarakat, percepatan kesejahteraan masyarakat, dsb. Pemekaran wilayah harus benar-benar dilakukan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah pada masyarakat dan memperpendekalur pelayanan sehingga akan tercipta pelayanan berkualitas yang ditunjukkan dengan kepuasan pelanggan. Jangan sampai wacana pemekaran wdaerah hanya dikarenakan ‘nafsau” akan” kekuasaan, memenuhi keinginan dan ambisi pejabat dan politisi saja.

“Menjamurnya” pemekaran daerah dan wacana pemekaran wilayah diberbagai daerah, menjadikannya menjadi perhatian dan juga keprihatinan banyak pihak. Menjadi perhatian karena sampai tahun 2007, daerah otonom baru yang sudah terbentuk sebanyak 173 daerah, terdiri atas 7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota. Kita sangat setuju jika pemekaran daerah murni sebagai wujud untuk melakukan percepatan dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Namun yang selama ini terjadi pemekaran daerah dijadikan sebagai ajang untuk kepentingan segelintir elite yang ada di suatu daerah. Karena dengan terbentuknya daerah baru, akan melahirkan banyak jabatan baru, baik kepala daerah, kepala dinas, anggota DPRD, PNS baru, pembangunan kantor-kantor baru yang akan menjadi targetan dari para kontraktor dsb.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menunjukkan keprihatinannya. Saat pidato 23 Agustus di Dewan Perwakilan Daerah, Presiden meminta semua pihak berani menolak pemekaran. Karena, setelah keran otonomi daerah dibuka sejak tahun 1999, yang juga diikuti dengan keinginan untuk malakukan pemekaran daerah, belum ada evaluasi bagaimana pencapaian dari daerah otonom baru hasil pemekaran daerah.
Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap daerah otonom baru yang telah ada. Apakah setelah adanya daerah otonom baru hasil pemekaran wilayah, mnimbulkan hasil yang memuaskan/ tidak. Apakah kinerja meningkat/tidak. Apakah dengan adanya pemekaran malah menimbulkan konflik horizontal/malah menjadikan daerah semakin makmur dan sejahtera.

Namun harus diakui bahwa pemekaran daerah dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004, pasal 4 ayat 4 maupun pemekaran daerah dalam arti memecah kecamatan/kelurahan/desa menjadi dua atau lebih wilayah geografis dengan pertimbangan karena luasnya wilayah, kondisi geografis, jumlah penduduk yang terlalu padat serta kondisi sosial politik, tentu menjadi alasan yang perlu dipertimbangkan secara serius.

1.3            Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana evaluasi pemekaran daerah yang telah dilaksanakan semenjak dibukanya keran bagi daerah-daerah untuk membentuk daerah otonom baru dengan cara pemekarn daerah.
1.4            Tujuan penelitian
Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : Melakukan identifikasi tentang evaluasi pemekaran daerah selama ini. Apakah memang sudah benar-benar telah mampu mencapai target sesuai dengan tujuan awal dilaksanakan. Atau malah menjadikan permasalahan di Daerah semakin kompleks. Karena ternyata banyak hal yang manjadi catatan dalam pelaksanaannya dilapangan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Konseptual
2.1.1. Pemekaran daerah

Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan mejadi lebih dari satu daerah, namun setelah UU no.22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom.

Dalam UU no 32 tahun 2004 tersebut pada pasal 4 ayat 3 dinyatakan: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat 4 da lam UU tersebut dinyatakan:Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

2.1.2  Sejarah Pemekaran Provinsi

Era perjuangan kemerdekaan (1945-1949)

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada masa pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah "negara-negara boneka" dibentuk Belanda dalam wilayah negara Indonesia.

[Era Republik Indonesia Serikat (1949-1950)

Hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, Belanda mengakui Indonesia dalam bentuk serikat, dimana terdiri dari 15 negara bagian plus 1 Republik Indonesia. Beberapa bulan kemudian, sejumlah negara-negara bagian menggabungkan diri ke negara bagian Republik Indonesia.

[Era Demokrasi Terpimpin dan Orde Lama (1950-1966)

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Berikut adalah perkembangan pemekaran wilayah Indonesia pada kurun waktu 1950-1966:
  • Tahun 1950, Provinsi Sumatra dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status provinsi "Daerah Istimewa".
  • Tahun 1956, Provinsi Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
  • Tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara Jakarta mendapat status provinsi "Daerah Khusus Ibukota". Pada tahun yang sama pula, Aceh kembali dibentuk provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (pada tahun 1959 Provinsi Aceh mendapat status provinsi "Daerah Istimewa").
  • Tahun 1959, Provinsi Sunda Kecil dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun yang sama, dibentuk provinsi Kalimantan Tengah (dari Kalimantan Selatan).
  • Tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
  • Tahun 1963, PBB menyerahkan Irian Barat ke Indonesia
  • Tahun 1964, dibentuk Provinsi Lampung (pemekaran dari Sumatera Selatan). Pada tahun yang sama, dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tengah (pemekaran dari Sulawesi Utara) dan Provinsi Sulawesi Tenggara (pemekaran dari Sulawesi Selatan).
  •  

Era Orde Baru (1966-1998)

  • Tahun 1967 Provinsi Bengkulu dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan
  • Tahun 1969 Irian Barat secara resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia
Pada Tahun 1969-1975, Indonesia memiliki 26 provinsi, dimana 2 diantaranya berstatus Daerah Istimewa (Aceh dan Yogyakarta), dan 1 berstatus Daerah Khusus Ibukota (Jakarta).
  • Tahun 1976, Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia dan sebagai provinsi ke-27.

] Era 1999-sekarang

Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berada di bawah PBB hingga merdeka penuh pada tahun 2002, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Sementara itu, pada era reformasi terdapat tuntutan pemekaran sejumlah provinsi di Indonesia. Pemekaran provinsi di Indonesia sejak tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 11 November 2001 pula, Provinsi Papua dimekarkan pula provinsi baru Irian Jaya Tengah. Namun pemekaran ini akhirnya dibatalkan karena mendapat banyak tentangan.

2.1.3  Tujuan Pemekaran Wilayah
Salah satu tujuan Pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru , mampu meningkatkan berbagai potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal baik potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, membuka “keterkungkungan” masyarakat terhadap pembangunan dan dapat memutus mata rantai pelayanan yang sebelumnya terpusat di satu tempat/ Ibukota kabupaten atau Ibukota kecamatan, memicu motivasi masyarakat untuk ikut secara aktif dalam proses pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, dsb.

2.1.4  Kriteria dan Persyaratan Pemekaran Wilayah
Kriteria pemekaran wilayah baik pemekaran daerah otonom, pemekaran kecamatan, kelurahan ataupun desa adalah sama, yakni jumlah penduduk, luas wilayah, sumberdaya manusia, sumberdaya ekonomi, kondisi sosial dan budaya, serta sumberdaya keuangan. Setiap pemekaran wilayah harus dilandasi hasil kajian, khusus untuk pemekaran daerah dan pemekaran desa harus didukung atau dikehendaki oleh masyarakat setempat.

2.2 Implementasi
2.2.1. Kebijakan
Kebijakan otonomi daerah dengan diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 mengawali rangkaian pemekaran daerah yang ada di Indonesia. UU tersebut dengan semangat otonomi daerahnya menjadikan pemerkaran daerah “bak cendawan dimusim penghujan” pemekaran “menjamur”. Semua daerah berlomba-lomba untuk memekarkan daerahnya dengan menjadikan satu kabupaten/kota atau provinci menjadi 2 atau lebih kab/kota dan provinsi.

2.2.2. Pemekaran daerah dan permasalahannya
Namun dilapangan ternyata banyak pertentangan (pro kontra) yang terjadi dalam menyikapi otonomi daerah, baik ditengah masyarakat, masyarakat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan pemerintah daerah yang lain, pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, dsb. . Beberapa hal yang juga menjadi permasalahan dilapangan adalah pengaturan keuangan, belanja aparatur, tapal batas antardaerah, perangkat kelembagaan, bantuan daerah induk, pelimpahan aset, penentuan ibukota daerah otonom baru dsb. Juga semangat “putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah dan rekruting PNS. Sehingga ada penumpukan pegawai, sedangkan di daerah lain mengalami kekurangan PNS.

2.2.3     Implementasi PP No 78/2007: Memperlambat Laju Pemekaran Daerah

Pemekaran daerah memang sulit dibendung. Aturan membolehkannya. Pemerintah telah menelurkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang menggantikan PP No 129/2000. Persyaratan baru dalam PP No 78/2007 bisa dikatakan lebih ketat. Hanya saja, bisakah aturan baru itu memperlambat atau bahkan menghentikan lajunya usulan pemekaran yang semakin marak? Pemerintah membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menyusun PP No 78/2007. Mengenai mengapa penyusunan revisi peraturan pemerintah itu demikian lama, Departemen Dalam Negeri selalu berdalih, mereka membutuhkan kajian yang mendalam untuk merevisi PP No 129/2000 untuk disinkronisasikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selama kurun waktu dua tahun itu, laju pemekaran terus meningkat tajam. Rencana moratorium yang pernah dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang paripurna khusus Dewan Perwakilan Daerah dan terlontar di penutupan masa sidang DPR awal tahun 2007 tak menyurutkan aspirasi pemekaran.
Tiga pintu usulan pemekaran, yaitu Depdagri, DPR, dan DPD, terus dibanjiri usulan pemekaran. Tahun 2006 saja, Depdagri menerima hampir 90 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 21 usulan pemekaran provinsi. Usulan itu mulai dari yang hanya aspirasi masyarakat hingga yang sudah memenuhi syarat administratif. Begitu pula DPD menerima sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1 provinsi. Di sisi lain, DPR menerima lebih sedikit, 39 usulan pemekaran kabupaten/kota. Usulan itu terus bertambah pada tahun 2007. Tarik ulur terus terjadi antara pemerintah dan DPR saat membahas puluhan usulan calon daerah baru di kurun waktu 2005- 2007. Selama dua tahun itu, kedua pihak telah menyepakati pembentukan 31 daerah baru. Perdebatan yang sering terjadi terkait apakah pembahasan pemekaran akan dilanjutkan atau menunggu aturan baru. Toh akhirnya tetap sama, pembahasan pembentukan daerah baru terus berlangsung.
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto menyatakan PP No 78/2007 memuat beberapa syarat pemekaran yang berbeda dengan aturan yang lama, di antaranya jumlah kabupaten, waktu pemekaran, juga rekomendasi dari kabupaten induk dan provinsi. “Yang eksplisit juga salurannya dari bawah, masyarakat yang menentukan, apa benar masyarakat kehendaki pemekaran dari forum komunikasi desa dan kelurahan. Tidak tiba-tiba ada satu forum mengusulkan pemekaran lalu diproses pemekarannya,” kata Mardiyanto.

2.2.4  Pemekaran wilayah sangat sulit dengan lahirnya PP 78 TAHUN 2007

Akhirnya PP baru tentang Pemekaran Wilayah disetujui oleh Pemerintah dan telah ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Desember lalu. Sekarang, sudah tidak mudah lagi memekarkan suatu daerah. Syaratnya ditambah, bahkan diperberat. Itulah yang terjadi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Ternyata PP ini sangat ketat dan tidak selonggar Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000, yang memang agak leluasa dan lunak sehingga menggampangkan daerah dimekarkan.
Apakah PP ini berlaku mundur sehingga mengganggu proses pemekaran yang sedang berlangsung? Kiranya tidak demikian, namun bias saja menjadi dilematis, jika proses pemekaran yang sempat disetujui oleh inisiatif DPR RI pada September lalu dihadang dengan alas an anggaran.
Beberapa perbedaan yang menyolok dengan PP yang baru, misalnya, pada peraturan yang lama, daerah yang baru dimekarkan bisa langsung dimekarkan lagi. Peraturan yang baru menetapkan provinsi yang akan dimekarkan harus sudah berusia minimal 10 tahun, sedangkan kota dan kabupaten harus sudah berusia minimal 7 tahun.
Perubahan lain adalah jumlah kabupaten/kota untuk menjadi provinsi baru dan jumlah kecamatan untuk menjadi kabupaten/kota baru. Sebelumnya, untuk pembentukan provinsi minimal hanya empat kabupaten/kota, sekarang diperketat menjadi minimal lima kabupaten/kota. Untuk pembentukan kabupaten baru sebelumnya minimal hanya empat kecamatan, sekarang diperberat menjadi minimal lima kecamatan. Adapun untuk pembentukan kota syaratnya ditingkatkan dari sebelumnya minimal hanya tiga kecamatan menjadi minimal empat kecamatan.
Peraturan baru ini lebih antisipatif terhadap kelemahan-kelemahan dimasa lalu, dan yang paling penting ialah peraturan pemerintah yang baru itu juga memberi landasan hukum untuk melikuidasi penggabungan daerah yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Telah dimekarkan, tetapi kenyataannya ‘baju baru’ itu terlalu besar untuk ‘badannya’. Atau badannya memang terlalu kecil, tetapi mau dibesar-besarkan dengan memberi bungkus baju baru. Hasilnya sama, pemekaran itu justru membuat daerah itu bangkrut dan menimbulkan ekses social yang baru di wilayah itu.
Pemikiran ini tepat, karena pada dasarnya jika daerah itu tidak memiliki cukup sumber daya dan kemampuan untuk memikul beban otonomi. Daerah itu tidak memiliki pendapatan asli daerah yang signifikan untuk menghidupi daerah itu sehingga akhirnya daerah baru itu layu justru setelah dimekarkan.
Dalam Editorial Media Indonesia menyatakan bahwa “Semua itu dapat terjadi karena pemekaran daerah lebih banyak didorong dan dirangsang kepentingan sempit elite daerah. Yaitu menciptakan berbagai jabatan baru, seperti jabatan gubernur baru untuk provinsi baru, jabatan bupati dan wali kota baru untuk kabupaten dan kota baru. Sudah tentu semakin banyak camat baru dan jabatan legislatif baru alias DPRD baru”.
Saya berpikir bahwa “Egocentris juga memicu Pemekaran daerah demi kepentingan primordialisme. Pemekaran itu cenderung dilakukan dengan mengikuti wilayah etnografis sehingga yang dihasilkan sebenarnya kepala suku baru dengan kedok gubernur, bupati, dan wali kota.
Bagaimana Pemekaran Nias ? mudah-mudahan peraturan ini tidak berlaku surut, sehingga jika rencana Nias Barat digabung dengan Nias Utara, karena alas an Nias Barat belum memadai, maka kita harus menunggu 10 tahun kemudian Nias Barat baru bias dimekarkan.
Peraturan baru itu disambut gembira oleh kalangan tertentu saja, namun merupakan penghalang dan beban berat bagi mereka yang daerahnya sedang diusulkan menjadi wilayah baru.
Dalam editorial Media Indonesia itu menyatakan “Oleh karena itu, sangat menggembirakan bahwa pemerintah akhirnya berani mengeluarkan peraturan pemerintah yang baru yang mempersulit pembentukan daerah baru. Bahkan, lebih dari itu, pemerintah membuat dasar hukum yang kuat untuk suatu hari berani melikuidasi pemekaran yang sudah terjadi”.
Bila likuidasi itu dilakukan, itulah keputusan yang sangat historis nilainya dan mestinya memberi efek jera kepada elite lokal yang dengan kepentingan sempitnya berambisi membentuk daerah baru.
Tak kalah penting, adanya dasar hukum untuk melikuidasi pemekaran itu juga memberi pelajaran kepada tokoh daerah yang berada di Jakarta, untuk berpikir sejuta kali sebelum mendukung, bahkan menjadi promotor pemekaran daerah. Pikir dahulu pendapatan, malu kemudian tiada guna.

2.3 Evaluasi
Dalam beberapa tahun pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi catatan kita, sbb banyak daerah pemekaran yang tidak memiliki cukup kemampuan. Akibatnya, pembangunan daerah tersebut jalan ditempat. Pemekaran daerah yang tidak direncanakan dengan baik, hasilnya tidak akan baik. Pemekaran harus dengan semangat yang muncul dari bawah, murni aspirasi masyarakat, buttom up planning dan diharapkan bukan kehendak pejabat, top down planning.
Sehingga bertolak dari hasil evaluasi daerah-daerah otonom hasil pemekaran yang tidak berkembang, maka kedepan pemekaran daerah akan diperketat. Jika pemekaran daerah tidak di perketat, maka negeri ini akan dipenuhi oleh pegawai negeri dan pejabat, menjadi “negara PNS”. Karena dengan terbentuknya daerah baru, akan melahirkan banyak jabatan baru, baik kepala daerah, kepala dinas, anggota DPRD, PNS baru, dsb.

Sebenarnya daerah tidak bisa terlalu disalahkan. Menjamurnya rencana pemekaran daerah merupakan akibat longgarnya syarat yang ditentukan dalam aturan legal formal yang mengatur tentang pemekaran daerah. Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 5 ayat 5 disebutkan “syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan”.

Dari aturan tersebut sangat jelas celah yang bisa dimamfaatkan daerah pengusul pemekaran daerah. Contohnya untuk mengajukan daerah otonom baru berbentuk kota, hanya diperlukan 4 (empat) kecamatan. Maka daerah menyiasatinya dengan memekarkan 1 (satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan. Begitupun yang terjadi dengan pemekaran propinsi.

Daerah Pengemis
Suatu kewajaran jika daerah kaya sumber daya alam, mengusulkan pemekaran daerah, karena mereka ingin menikmati hasil kekayaan alamnya yang melimpah. Namun jika yang mengusulkan pemekaran adalah daerah miskin sumber daya alam dan PAD, maka bagian terbesar dari APBD berasal dari “uluran tangan” pemerintah pusat. Daerah baru hanya menjadi benalu, yang hanya akan menghisap dana dari pemerintah pusat.

Pemekaran daerah miskin hanya mengharapkan dana perimbangan dari pusat ke daerah. Baik berupa, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan sebagainya. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena walau bagaimanapun kemandirian suatu daerah haruslah tetap diupayakan. Karena porsi terbesar dari dana perimbangan tersebut berasal dari sektor pertambangan, yang semakin hari cadangannnya akan semakin menipis, sehingga suatu hari nanti tidak bisa lagi dijadikan sumber pemasukan negara.
Kebijakan pemekaran daerah memberi dampak luar biasa bagi kelangsungan penyelenggaraan otonomi daerah, karena ekses yang ditimbulkan begitu berpengaruh, memberikan dampak besar, tricle down effect, efek rembesan yang luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat, karena bertambahnya alokasi anggaran yang dikucurkan pemerintah. Tetapi hal itu akan terjadi jika, daerah otonom baru dikelola secara baik.

Namun kenyataan selama ini, pemekaran muncul karena adanya alasan-alasan tersembunyi. Misalnya penekanan homogenitas dan munculnya prioritas pada lingkaran kekuasaan yang sedang berkuasa di daerah induk, serta keinginan untuk mendapatkan finasial terkait dengan pengucuran dana-dana penunjang daerah otonom. Pemekaran hanya memenuhi ambisi kekuasaan segelintir orang yang memiliki ego kekuasaan dan kesanggupan uang, tanpa peduli kepentingan masyarakat.

Pengalaman di beberapa daerah yang telah melaksanakan pemekaran daerah menunjukkan, bahwa banyak potensi konflik yang muncul dari pemekaran daerah. Penyebabnya bisa macam-macam. Bisa karena penentuan tapal batas, pengalihan aset dari daerah induk, namun konflik terbesar daerah pemekaran daerah adalah dalam menentukan ibukota daerah otonom baru.

Pemekaran daerah harus dikaji kembali secara menyeluruh. Pengkajian itu dapat dilakukan melalui perbaikan peraturan perundangan yang mendasarinya.
Juga diperlukan komitmen dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD dalam mengerem pemekaran. Komitmen dan pengendalian dalam penggunaan hak inisiatif perlu menjadi perhatian bersama dalam menyikapi keinginan pemekaran.
Apalagi saat ini masih ada 12 rancangan undang-undang (RUU) usulan inisiatif DPR tentang pemekaran Kabupaten/Kota yang sudah disetujui untuk dibahas. Kedepan semua persyaratan administratif harus sudah terpenuhi untuk mengajukan pemekaran daerah, agar tidak terjadi gejolak dikemudian hari. Baik dari segi penentuan ibukota, pembagian wilayah administratif, batas daerah, dan kesiapan-kesiapan lain yang belum memadai. Dan yang sangat penting adalah kesiapan dari masyarakat untuk menerima konsekuensi dari hasil pemekaran. Sehingga jika semua persyaratan sudah dipenuhi, maka hasilnya pun akan baik.
Bisa saja pemekaran tetap dipaksakan untuk tetap maju sesuai dengan rencana awal yang telah ditetapkan namun belum matang. Tetapi jika dikemudian hari permasalahan yang timbul menjadi lebih kompleks, kenapa tidak dimatangkan saja rencana tersebut saat ini. Karena di Undang-Undang pemerintahan daerah juga dikatakan jika setelah dievaluasi daerah tidak mampu untuk melaksanakan otonomi daerah, maka daerah dapat dihapus dan digabungkan dengan daerah lain. Hal ini tentu tidak kita harapkan.

2.3.3 Rekomendasi
Ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi (catatan) dalam pemekaran daerah kedepan:
1. Perketat syarat pemekaran daerah, sehingga diharapkan daerah otonom baru yang dibentuk benar-benar “berkualitas”.
2. Jangan langsung menjadikan sebagai daerah otonom baru, tapi kita bisa mengadopsi konsep orde baru, dimana sebelum menjadi daerah otonom, suatu daerah menjadi daerah administratif dulu. Setalah beberapa tahun baru dievaluasi, apakah layak jadi daerah otonom.Jika tidak kembali dilebur dengan daerah induk.
3. Moratorium (penghentian sementara) pemekaran daerah. Sebelum daerah otonom baru saat ini dievaluasi secara menyeluruh, maka belum ada pemekaran daerah


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Sebagai salah satu cara peningkatan pelayanan publik peraturan perundang-undangan memberikan suatu ketentuan tentang pemekaran daerah (pemekaran kecamatan, kelurahan, desa) dan pemekaran daerah otonom menjadi dua atau lebih guna mempercepat pelaksanaan pembangunan serta mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat. Secara sederhana, pemekaran wilayah merupakan suatu cara untuk mendekatkan aparatur pelayanan dengan masyarakat. Wilayah dan atau masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau oleh perhatian dan penanganan Pemerintah Daerah karena faktor geografis atau besarnya jumlah penduduk dengan pemekaran wilayah akan menjadi terjangkau dan tertangani.

Walaupun pemekaran wilayah merupakan suatu peluang sebagai salah satu upaya peningkatan pelayanan publik, namun cukup tinggi permasalahan dan kendala yang dihadapi. Pemekaran daerah selam ini lebih banyak untuk kepentingan segelintir elite lokal. Baik eksekutif, legislatif dan juga pengusaha yang “menyuplai” dana untuk menggolkan pemekaran daerah.













DAFTAR KEPUSTAKAAN


UU No 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
UU No 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah
Http;//bolmerhutasoit.wordpress.com
Http;// bolmerhutasoit.wordpress.com/akademik/makalah//

Tidak ada komentar:

Posting Komentar