EVALUASI PEMEKARAN DAERAH DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Pengertian
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi
maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran
daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Artikel ini membahas mengenai sejarah pemekaran wilayah di Indone
1.2
Latar Belakang
Tata pemerintahan yang baik tentu menjadi dambaan semua
pihak, baik birokrat ataupun masyarakat. Birokrasi diharapkan dapat
menyesuaikan ‘diri” dengan keadaan yang sedang berkembang. Mutu pelayanan yang
diberikan birokrasi akan sangat menentukan kepuasan pelanggan yang akan
berdampak langsung pada organisasi tersebut. Saat ini banyak harapan yang ditumpukan
kepada organisasi publik, agar kedepan dapat memberikan pelayanan yang
maksimal.
Otonomi daerah merupakan wujud dari upaya pemerintah
untuk memberikan pelayanan yang lebih maksimal bagi masyarakat. Sehingga
diharapkan, dengan adanya otonomi daerah masyarakat mendapatkan apa yang
menjadi harapannya selama ini, karena pelayanan langsung dilaksanakan oleh
pemerintah daerah. Otonomi daerah diatur dalam Undang-undang nomor 22 tahun
1999 yang selanjutnya disempurnakan, dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah. Yang bermakna desentralisasi kekuasaan (dari
sebelumnya kekuasaan terpusat ) ditandai dengan beralihnya beberapa kewenangan
pemerintah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kewenangan yang diberikan
dalam UU tersebut menjadikan kewenangan pemerintah daerah menjadi lebih besar
dari sebelumnya.
Dengan semangat otonomi daerah itu pulalah muncul
wacana-wacana melakukan pemekaran wilayah, yang ‘katanya” untuk mempercepat
pelaksanaan pembangunan, dan memudahkan pelayanan publik kepada masyarakat,
percepatan kesejahteraan masyarakat, dsb. Pemekaran wilayah harus benar-benar
dilakukan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah pada masyarakat dan
memperpendekalur pelayanan sehingga akan tercipta pelayanan berkualitas yang
ditunjukkan dengan kepuasan pelanggan. Jangan sampai wacana pemekaran wdaerah
hanya dikarenakan ‘nafsau” akan” kekuasaan, memenuhi keinginan dan ambisi
pejabat dan politisi saja.
“Menjamurnya”
pemekaran daerah dan wacana pemekaran wilayah diberbagai daerah, menjadikannya
menjadi perhatian dan juga keprihatinan banyak pihak. Menjadi perhatian karena
sampai tahun 2007, daerah otonom baru yang sudah terbentuk sebanyak 173 daerah,
terdiri atas 7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota.
Kita sangat setuju jika pemekaran daerah murni sebagai wujud untuk melakukan
percepatan dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Namun yang selama ini
terjadi pemekaran daerah dijadikan sebagai ajang untuk kepentingan segelintir
elite yang ada di suatu daerah. Karena dengan terbentuknya daerah baru, akan
melahirkan banyak jabatan baru, baik kepala daerah, kepala dinas, anggota DPRD,
PNS baru, pembangunan kantor-kantor baru yang akan menjadi targetan dari para
kontraktor dsb.
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pun menunjukkan keprihatinannya. Saat pidato 23 Agustus di
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden meminta semua pihak berani menolak pemekaran. Karena, setelah keran otonomi daerah dibuka sejak tahun
1999, yang juga diikuti dengan keinginan untuk malakukan pemekaran daerah,
belum ada evaluasi bagaimana pencapaian dari daerah otonom baru hasil pemekaran
daerah.
Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap daerah otonom baru
yang telah ada. Apakah setelah adanya daerah otonom baru hasil pemekaran
wilayah, mnimbulkan hasil yang memuaskan/ tidak. Apakah kinerja
meningkat/tidak. Apakah dengan adanya pemekaran malah menimbulkan konflik
horizontal/malah menjadikan daerah semakin makmur dan sejahtera.
Namun harus diakui bahwa pemekaran daerah dalam
Undang-undang nomor 32 tahun 2004, pasal 4 ayat 4 maupun pemekaran daerah dalam
arti memecah kecamatan/kelurahan/desa menjadi dua atau lebih wilayah geografis
dengan pertimbangan karena luasnya wilayah, kondisi geografis, jumlah penduduk
yang terlalu padat serta kondisi sosial politik, tentu menjadi alasan yang
perlu dipertimbangkan secara serius.
1.3
Perumusan
Masalah
Dari latar
belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana
evaluasi pemekaran daerah yang telah dilaksanakan semenjak dibukanya keran bagi
daerah-daerah untuk membentuk daerah otonom baru dengan cara pemekarn daerah.
1.4
Tujuan
penelitian
Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka
tujuan penelitian ini adalah : Melakukan identifikasi tentang evaluasi
pemekaran daerah selama ini. Apakah memang sudah benar-benar telah mampu
mencapai target sesuai dengan tujuan awal dilaksanakan. Atau malah menjadikan
permasalahan di Daerah semakin kompleks. Karena ternyata banyak hal yang
manjadi catatan dalam pelaksanaannya dilapangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan
Konseptual
2.1.1.
Pemekaran daerah
Pemekaran daerah dilandasi oleh Undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah
dapat dimekarkan mejadi lebih dari satu daerah, namun
setelah UU no.22 tahun 1999 diganti dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal
4 ayat 3 dan ayat 4, namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah berarti
pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom.
Dalam UU no 32 tahun 2004 tersebut pada pasal 4 ayat 3
dinyatakan: Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah
atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat 4 da lam UU tersebut
dinyatakan:Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal
usia penyelenggaraan pemerintahan.
2.1.2 Sejarah Pemekaran Provinsi
Era perjuangan kemerdekaan (1945-1949)
Ketika Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia
memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat,
Jawa
Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi,
Maluku, dan Sunda Kecil.
Pada masa pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia mengalami perubahan
wilayah akibat kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah
"negara-negara boneka" dibentuk Belanda dalam wilayah negara
Indonesia.
[Era Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag
tahun 1949, Belanda
mengakui Indonesia dalam bentuk serikat, dimana terdiri dari 15 negara
bagian plus 1 Republik Indonesia. Beberapa bulan kemudian, sejumlah negara-negara
bagian menggabungkan diri ke negara bagian Republik Indonesia.
[Era Demokrasi Terpimpin dan Orde Lama (1950-1966)
Pada tanggal 17 Agustus
1950, Indonesia
kembali menjadi negara kesatuan. Berikut adalah perkembangan pemekaran wilayah
Indonesia pada kurun waktu 1950-1966:
- Tahun 1950, Provinsi Sumatra dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status provinsi "Daerah Istimewa".
- Tahun 1956, Provinsi Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
- Tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara Jakarta mendapat status provinsi "Daerah Khusus Ibukota". Pada tahun yang sama pula, Aceh kembali dibentuk provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (pada tahun 1959 Provinsi Aceh mendapat status provinsi "Daerah Istimewa").
- Tahun 1959, Provinsi Sunda Kecil dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun yang sama, dibentuk provinsi Kalimantan Tengah (dari Kalimantan Selatan).
- Tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
- Tahun 1963, PBB menyerahkan Irian Barat ke Indonesia
- Tahun 1964, dibentuk Provinsi Lampung (pemekaran dari Sumatera Selatan). Pada tahun yang sama, dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tengah (pemekaran dari Sulawesi Utara) dan Provinsi Sulawesi Tenggara (pemekaran dari Sulawesi Selatan).
Era Orde Baru (1966-1998)
- Tahun 1967 Provinsi Bengkulu dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan
- Tahun 1969 Irian Barat secara resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia
Pada Tahun
1969-1975, Indonesia memiliki 26 provinsi, dimana 2 diantaranya berstatus Daerah
Istimewa (Aceh dan Yogyakarta), dan 1 berstatus Daerah Khusus Ibukota
(Jakarta).
- Tahun 1976, Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia dan sebagai provinsi ke-27.
] Era 1999-sekarang
Pada tahun 1999, Timor Timur
memisahkan diri dari Indonesia dan berada di bawah PBB hingga merdeka penuh
pada tahun 2002, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Sementara itu,
pada era reformasi terdapat tuntutan pemekaran sejumlah provinsi di Indonesia.
Pemekaran provinsi di Indonesia sejak tahun 1999 adalah sebagai
berikut:
- Maluku Utara dengan ibukota Sofifi-Ternate, dimekarkan dari Provinsi Maluku, menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 4 Oktober 1999
- Banten dengan ibukota Serang, dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat, menjadi provinsi Indonesia ke-28 pada tanggal 17 Oktober 2000
- Kepulauan Bangka Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, menjadi provinsi Indonesia ke-29 pada tanggal 4 Desember 2000
- Gorontalo dengan ibukota Kota Gorontalo, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara, menjadi provinsi Indonesia ke-30 pada tanggal 22 Desember 2000
- Irian Jaya Barat dengan ibukota Manokwari, dimekarkan dari Provinsi Papua, menjadi provinsi Indonesia ke-31 pada tanggal 21 November 2001. Kini Irian Jaya Barat berganti nama menjadi Papua Barat.
Pada tanggal 11
November 2001 pula, Provinsi Papua dimekarkan pula provinsi baru Irian
Jaya Tengah. Namun pemekaran ini akhirnya dibatalkan karena mendapat banyak
tentangan.
- Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi provinsi Indonesia ke-32 pada tanggal 25 Oktober 2002
- Sulawesi Barat dengan ibukota Mamuju, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi provinsi Indonesia ke-33 pada tanggal 5 Oktober 2004
2.1.3 Tujuan Pemekaran Wilayah
Salah satu tujuan Pemekaran daerah adalah untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memunculkan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru , mampu meningkatkan berbagai potensi yang
selama ini belum tergarap secara optimal baik potensi sumberdaya alam maupun
sumberdaya manusia, membuka “keterkungkungan” masyarakat terhadap pembangunan
dan dapat memutus mata rantai pelayanan yang sebelumnya terpusat di satu
tempat/ Ibukota kabupaten atau Ibukota kecamatan, memicu motivasi masyarakat
untuk ikut secara aktif dalam proses pembangunan dalam rangka meningkatkan
taraf hidupnya, dsb.
2.1.4 Kriteria dan
Persyaratan Pemekaran Wilayah
Kriteria pemekaran wilayah baik pemekaran daerah otonom,
pemekaran kecamatan, kelurahan ataupun desa adalah sama, yakni jumlah penduduk,
luas wilayah, sumberdaya manusia, sumberdaya ekonomi, kondisi sosial dan budaya,
serta sumberdaya keuangan. Setiap pemekaran wilayah harus dilandasi hasil
kajian, khusus untuk pemekaran daerah dan pemekaran desa harus didukung atau
dikehendaki oleh masyarakat setempat.
2.2
Implementasi
2.2.1.
Kebijakan
Kebijakan otonomi daerah dengan diberlakukannya UU no 22
tahun 1999 mengawali rangkaian pemekaran daerah yang ada di Indonesia. UU
tersebut dengan semangat otonomi daerahnya menjadikan pemerkaran daerah “bak
cendawan dimusim penghujan” pemekaran “menjamur”. Semua daerah
berlomba-lomba untuk memekarkan daerahnya dengan menjadikan satu kabupaten/kota
atau provinci menjadi 2 atau lebih kab/kota dan provinsi.
2.2.2.
Pemekaran daerah dan permasalahannya
Namun dilapangan ternyata banyak pertentangan (pro
kontra) yang terjadi dalam menyikapi otonomi daerah, baik ditengah masyarakat,
masyarakat dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan pemerintah daerah
yang lain, pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, dsb. . Beberapa hal yang juga menjadi
permasalahan dilapangan adalah pengaturan keuangan, belanja aparatur, tapal
batas antardaerah, perangkat kelembagaan, bantuan daerah induk, pelimpahan
aset, penentuan ibukota daerah otonom baru dsb. Juga semangat “putra daerah”
dalam pemilihan kepala daerah dan rekruting PNS. Sehingga ada penumpukan
pegawai, sedangkan di daerah lain mengalami kekurangan PNS.
2.2.3 Implementasi PP No 78/2007: Memperlambat Laju Pemekaran Daerah
Pemekaran
daerah memang sulit dibendung. Aturan membolehkannya. Pemerintah telah
menelurkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang menggantikan PP No
129/2000. Persyaratan baru dalam PP No 78/2007 bisa dikatakan lebih ketat.
Hanya saja, bisakah aturan baru itu memperlambat atau bahkan menghentikan
lajunya usulan pemekaran yang semakin marak? Pemerintah membutuhkan waktu
selama dua tahun untuk menyusun PP No 78/2007. Mengenai mengapa penyusunan
revisi peraturan pemerintah itu demikian lama, Departemen Dalam Negeri selalu
berdalih, mereka membutuhkan kajian yang mendalam untuk merevisi PP No 129/2000
untuk disinkronisasikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Selama kurun waktu dua tahun itu, laju pemekaran terus
meningkat tajam. Rencana moratorium yang pernah dilontarkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di depan sidang paripurna khusus Dewan Perwakilan Daerah dan
terlontar di penutupan masa sidang DPR awal tahun 2007 tak menyurutkan aspirasi
pemekaran.
Tiga
pintu usulan pemekaran, yaitu Depdagri, DPR, dan DPD, terus dibanjiri usulan
pemekaran. Tahun 2006 saja, Depdagri menerima hampir 90 usulan pemekaran
kabupaten/kota dan 21 usulan pemekaran provinsi. Usulan itu mulai dari yang
hanya aspirasi masyarakat hingga yang sudah memenuhi syarat administratif.
Begitu pula DPD menerima sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten/kota dan 1
provinsi. Di sisi lain, DPR menerima lebih sedikit, 39 usulan pemekaran
kabupaten/kota. Usulan itu terus bertambah pada tahun 2007. Tarik ulur terus
terjadi antara pemerintah dan DPR saat membahas puluhan usulan calon daerah
baru di kurun waktu 2005- 2007. Selama dua tahun itu, kedua pihak telah
menyepakati pembentukan 31 daerah baru. Perdebatan yang sering terjadi terkait
apakah pembahasan pemekaran akan dilanjutkan atau menunggu aturan baru. Toh
akhirnya tetap sama, pembahasan pembentukan daerah baru terus berlangsung.
Menteri
Dalam Negeri Mardiyanto menyatakan PP No 78/2007 memuat beberapa syarat
pemekaran yang berbeda dengan aturan yang lama, di antaranya jumlah kabupaten,
waktu pemekaran, juga rekomendasi dari kabupaten induk dan provinsi. “Yang
eksplisit juga salurannya dari bawah, masyarakat yang menentukan, apa benar
masyarakat kehendaki pemekaran dari forum komunikasi desa dan kelurahan. Tidak
tiba-tiba ada satu forum mengusulkan pemekaran lalu diproses pemekarannya,”
kata Mardiyanto.
2.2.4 Pemekaran wilayah sangat sulit dengan lahirnya PP 78 TAHUN 2007
Akhirnya
PP baru tentang Pemekaran Wilayah disetujui oleh Pemerintah dan telah ditanda
tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Desember lalu. Sekarang,
sudah tidak mudah lagi memekarkan suatu daerah. Syaratnya ditambah, bahkan
diperberat. Itulah yang terjadi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2007. Ternyata PP ini sangat ketat dan tidak selonggar Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000, yang memang agak leluasa dan lunak sehingga
menggampangkan daerah dimekarkan.
Apakah PP ini berlaku mundur sehingga
mengganggu proses pemekaran yang sedang berlangsung? Kiranya tidak demikian,
namun bias saja menjadi dilematis, jika proses pemekaran yang sempat disetujui
oleh inisiatif DPR RI pada September lalu dihadang dengan alas an anggaran.
Beberapa perbedaan yang menyolok dengan PP yang
baru, misalnya, pada peraturan yang lama, daerah yang baru dimekarkan bisa
langsung dimekarkan lagi. Peraturan yang baru menetapkan provinsi yang akan
dimekarkan harus sudah berusia minimal 10 tahun, sedangkan kota dan kabupaten
harus sudah berusia minimal 7 tahun.
Perubahan lain adalah jumlah kabupaten/kota
untuk menjadi provinsi baru dan jumlah kecamatan untuk menjadi kabupaten/kota
baru. Sebelumnya, untuk pembentukan provinsi minimal hanya empat
kabupaten/kota, sekarang diperketat menjadi minimal lima kabupaten/kota. Untuk
pembentukan kabupaten baru sebelumnya minimal hanya empat kecamatan, sekarang
diperberat menjadi minimal lima kecamatan. Adapun untuk pembentukan kota
syaratnya ditingkatkan dari sebelumnya minimal hanya tiga kecamatan menjadi minimal
empat kecamatan.
Peraturan baru ini lebih antisipatif terhadap
kelemahan-kelemahan dimasa lalu, dan yang paling penting ialah peraturan
pemerintah yang baru itu juga memberi landasan hukum untuk melikuidasi
penggabungan daerah yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
Telah dimekarkan, tetapi kenyataannya ‘baju baru’ itu terlalu besar untuk
‘badannya’. Atau badannya memang terlalu kecil, tetapi mau dibesar-besarkan
dengan memberi bungkus baju baru. Hasilnya sama, pemekaran itu justru membuat
daerah itu bangkrut dan menimbulkan ekses social yang baru di wilayah itu.
Pemikiran ini tepat, karena pada dasarnya jika
daerah itu tidak memiliki cukup sumber daya dan kemampuan untuk memikul beban
otonomi. Daerah itu tidak memiliki pendapatan asli daerah yang signifikan untuk
menghidupi daerah itu sehingga akhirnya daerah baru itu layu justru setelah
dimekarkan.
Dalam Editorial Media Indonesia menyatakan
bahwa “Semua itu dapat terjadi karena pemekaran daerah lebih banyak didorong
dan dirangsang kepentingan sempit elite daerah. Yaitu menciptakan berbagai
jabatan baru, seperti jabatan gubernur baru untuk provinsi baru, jabatan bupati
dan wali kota baru untuk kabupaten dan kota baru. Sudah tentu semakin banyak
camat baru dan jabatan legislatif baru alias DPRD baru”.
Saya berpikir bahwa “Egocentris juga memicu
Pemekaran daerah demi kepentingan primordialisme. Pemekaran itu cenderung
dilakukan dengan mengikuti wilayah etnografis sehingga yang dihasilkan
sebenarnya kepala suku baru dengan kedok gubernur, bupati, dan wali kota.
Bagaimana Pemekaran Nias ? mudah-mudahan
peraturan ini tidak berlaku surut, sehingga jika rencana Nias Barat digabung
dengan Nias Utara, karena alas an Nias Barat belum memadai, maka kita harus
menunggu 10 tahun kemudian Nias Barat baru bias dimekarkan.
Peraturan baru itu disambut gembira oleh
kalangan tertentu saja, namun merupakan penghalang dan beban berat bagi mereka
yang daerahnya sedang diusulkan menjadi wilayah baru.
Dalam editorial Media Indonesia itu menyatakan
“Oleh karena itu, sangat menggembirakan bahwa pemerintah akhirnya berani
mengeluarkan peraturan pemerintah yang baru yang mempersulit pembentukan daerah
baru. Bahkan, lebih dari itu, pemerintah membuat dasar hukum yang kuat untuk
suatu hari berani melikuidasi pemekaran yang sudah terjadi”.
Bila
likuidasi itu dilakukan, itulah keputusan yang sangat historis nilainya dan
mestinya memberi efek jera kepada elite lokal yang dengan kepentingan sempitnya
berambisi membentuk daerah baru.
Tak kalah penting, adanya dasar hukum untuk
melikuidasi pemekaran itu juga memberi pelajaran kepada tokoh daerah yang
berada di Jakarta, untuk berpikir sejuta kali sebelum mendukung, bahkan menjadi
promotor pemekaran daerah. Pikir dahulu pendapatan, malu kemudian tiada guna.
2.3 Evaluasi
Dalam beberapa
tahun pelaksanaannya ada beberapa hal yang menjadi catatan kita, sbb banyak
daerah pemekaran yang tidak memiliki cukup kemampuan. Akibatnya, pembangunan
daerah tersebut jalan ditempat. Pemekaran daerah yang tidak direncanakan dengan
baik, hasilnya tidak akan baik. Pemekaran harus dengan semangat yang muncul
dari bawah, murni aspirasi masyarakat, buttom up planning dan
diharapkan bukan kehendak pejabat, top down planning.
Sehingga
bertolak dari hasil evaluasi daerah-daerah otonom hasil pemekaran yang tidak
berkembang, maka kedepan pemekaran daerah akan diperketat. Jika pemekaran
daerah tidak di perketat, maka negeri ini akan dipenuhi oleh pegawai negeri dan
pejabat, menjadi “negara PNS”. Karena dengan terbentuknya daerah baru, akan
melahirkan banyak jabatan baru, baik kepala daerah, kepala dinas, anggota DPRD,
PNS baru, dsb.
Sebenarnya
daerah tidak bisa terlalu disalahkan. Menjamurnya rencana pemekaran daerah
merupakan akibat longgarnya syarat yang ditentukan dalam aturan legal formal
yang mengatur tentang pemekaran daerah. Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah pasal 5 ayat 5 disebutkan “syarat fisik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan
kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon
ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan”.
Dari aturan
tersebut sangat jelas celah yang bisa dimamfaatkan daerah pengusul pemekaran
daerah. Contohnya untuk mengajukan daerah otonom baru berbentuk kota, hanya
diperlukan 4 (empat) kecamatan. Maka daerah menyiasatinya dengan memekarkan 1
(satu) kecamatan menjadi 2 (dua) kecamatan. Begitupun yang terjadi dengan
pemekaran propinsi.
Daerah Pengemis
Suatu kewajaran
jika daerah kaya sumber daya alam, mengusulkan pemekaran daerah, karena mereka
ingin menikmati hasil kekayaan alamnya yang melimpah. Namun jika yang
mengusulkan pemekaran adalah daerah miskin sumber daya alam dan PAD, maka
bagian terbesar dari APBD berasal dari “uluran tangan” pemerintah pusat. Daerah
baru hanya menjadi benalu, yang hanya akan menghisap dana dari pemerintah
pusat.
Pemekaran
daerah miskin hanya mengharapkan dana perimbangan dari pusat ke daerah. Baik
berupa, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan sebagainya. Hal
ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena walau bagaimanapun kemandirian suatu
daerah haruslah tetap diupayakan. Karena porsi terbesar dari dana perimbangan
tersebut berasal dari sektor pertambangan, yang semakin hari cadangannnya akan
semakin menipis, sehingga suatu hari nanti tidak bisa lagi dijadikan sumber
pemasukan negara.
Kebijakan pemekaran daerah memberi dampak luar biasa bagi
kelangsungan penyelenggaraan otonomi daerah, karena ekses yang ditimbulkan
begitu berpengaruh, memberikan dampak besar, tricle down effect, efek
rembesan yang luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat, karena
bertambahnya alokasi anggaran yang dikucurkan pemerintah. Tetapi hal itu akan
terjadi jika, daerah otonom baru dikelola secara baik.
Namun kenyataan
selama ini, pemekaran muncul karena adanya alasan-alasan tersembunyi. Misalnya
penekanan homogenitas dan munculnya prioritas pada lingkaran kekuasaan yang
sedang berkuasa di daerah induk, serta keinginan untuk mendapatkan finasial
terkait dengan pengucuran dana-dana penunjang daerah otonom. Pemekaran hanya
memenuhi ambisi kekuasaan segelintir orang yang memiliki ego kekuasaan dan
kesanggupan uang, tanpa peduli kepentingan masyarakat.
Pengalaman di
beberapa daerah yang telah melaksanakan pemekaran daerah menunjukkan, bahwa banyak
potensi konflik yang muncul dari pemekaran daerah. Penyebabnya bisa
macam-macam. Bisa karena penentuan tapal batas, pengalihan aset dari daerah
induk, namun konflik terbesar daerah pemekaran daerah adalah dalam menentukan
ibukota daerah otonom baru.
Pemekaran daerah harus
dikaji kembali secara menyeluruh. Pengkajian itu dapat dilakukan melalui
perbaikan peraturan perundangan yang mendasarinya.
Juga diperlukan komitmen dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD dalam mengerem pemekaran. Komitmen dan pengendalian dalam penggunaan hak inisiatif perlu menjadi perhatian bersama dalam menyikapi keinginan pemekaran.
Juga diperlukan komitmen dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD dalam mengerem pemekaran. Komitmen dan pengendalian dalam penggunaan hak inisiatif perlu menjadi perhatian bersama dalam menyikapi keinginan pemekaran.
Apalagi saat ini masih
ada 12 rancangan undang-undang (RUU) usulan inisiatif DPR tentang pemekaran
Kabupaten/Kota yang sudah disetujui untuk dibahas. Kedepan semua
persyaratan administratif harus sudah terpenuhi untuk mengajukan pemekaran
daerah, agar tidak terjadi gejolak dikemudian hari. Baik dari segi penentuan
ibukota, pembagian wilayah administratif, batas daerah, dan kesiapan-kesiapan
lain yang belum memadai. Dan yang sangat penting adalah kesiapan dari
masyarakat untuk menerima konsekuensi dari hasil pemekaran. Sehingga jika semua
persyaratan sudah dipenuhi, maka hasilnya pun akan baik.
Bisa saja
pemekaran tetap dipaksakan untuk tetap maju sesuai dengan rencana awal yang
telah ditetapkan namun belum matang. Tetapi jika dikemudian hari permasalahan
yang timbul menjadi lebih kompleks, kenapa tidak dimatangkan saja rencana
tersebut saat ini. Karena di Undang-Undang pemerintahan daerah juga dikatakan
jika setelah dievaluasi daerah tidak mampu untuk melaksanakan otonomi daerah,
maka daerah dapat dihapus dan digabungkan dengan daerah lain. Hal ini tentu
tidak kita harapkan.
2.3.3
Rekomendasi
Ada beberapa
hal yang menjadi rekomendasi (catatan) dalam pemekaran daerah kedepan:
1. Perketat syarat pemekaran daerah,
sehingga diharapkan daerah otonom baru yang dibentuk benar-benar “berkualitas”.
2. Jangan langsung menjadikan sebagai
daerah otonom baru, tapi kita bisa mengadopsi konsep orde baru, dimana sebelum
menjadi daerah otonom, suatu daerah menjadi daerah administratif dulu. Setalah
beberapa tahun baru dievaluasi, apakah layak jadi daerah otonom.Jika tidak
kembali dilebur dengan daerah induk.
3. Moratorium (penghentian sementara)
pemekaran daerah. Sebelum daerah otonom baru saat ini dievaluasi secara
menyeluruh, maka belum ada pemekaran daerah
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai salah satu cara peningkatan pelayanan publik
peraturan perundang-undangan memberikan suatu ketentuan tentang pemekaran
daerah (pemekaran kecamatan, kelurahan, desa) dan pemekaran daerah otonom
menjadi dua atau lebih guna mempercepat pelaksanaan pembangunan serta mendorong
tercapainya kesejahteraan masyarakat. Secara sederhana, pemekaran wilayah
merupakan suatu cara untuk mendekatkan aparatur pelayanan dengan masyarakat.
Wilayah dan atau masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau oleh perhatian dan
penanganan Pemerintah Daerah karena faktor geografis atau besarnya jumlah
penduduk dengan pemekaran wilayah akan menjadi terjangkau dan tertangani.
Walaupun pemekaran wilayah merupakan suatu peluang
sebagai salah satu upaya peningkatan pelayanan publik, namun cukup tinggi
permasalahan dan kendala yang dihadapi. Pemekaran daerah selam ini lebih banyak
untuk kepentingan segelintir elite lokal. Baik eksekutif, legislatif dan juga
pengusaha yang “menyuplai” dana untuk menggolkan pemekaran daerah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
UU No 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
Http;//bolmerhutasoit.wordpress.com
Http;//
bolmerhutasoit.wordpress.com/akademik/makalah//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar