Rabu, 25 Januari 2012
kata mutiara
TAHUKAH KITA? Ketika Allah rindu pada hambanya,Allah akan mengirimkan sebuah hadiah istimewa melalui malaikat Jibril yang isinya adalah ujian…Dalam hadist qudsi Allah berfirman:..“Pergilah pada hambaku lalu timpakanlah berbagai ujian padanya kerana Aku ingin mendengar rintihannya.”(HR. Thabrani dari Abu Umamah) Abu Sa...id dan Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam bersabda:..“Seorang muslim yang ditimpa penderitaan,kegundahan,kesedihan,kesakitan,gangguan,dan kerisauan,bahkan hanya terkena duri sekalipun,semuanya itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya.”(H.R. Bukhari dan Muslim) Jangan sedih bila orang lain tidak memahami anda..Tapi sedihlah karena anda tidak mau memahami orang lain..Jangan sedih bila orang lain tidak mempercayai anda..Tapi sedihlah karena anda tidak percaya diri sendiri..Jangan sedih bila orang lain tidak memberi kesempatan kepada anda..Tapi sedihlah karena anda belum buat persiapan...Jangan sedih bila orang lain tidak menghargai anda..Tapi sedihlah karena anda tidak bisa menghargai orang lain..Jangan sedih bila orang lain menghina anda..Tapi sedihlah karena anda membuat hina diri sendiri..Jangan sedih bila orang lain memaki anda..Tapi sedihlah karena anda bermulut jahat pada orang lain..Jangan sedih orang selalu mengritik kita..Tapi sedihlah karena anda tak pernah mau perbaiki diri...Jangan sedih karena anda selalu jatuh..Tapi sedihlah karena anda tak mau bangkit kembali...Jangan sedih karena perjalanan hidup anda pahit getir..Tapi sedihlah karena anda tak pernah belajar dari pengalaman.
Sabtu, 21 Januari 2012
Mahkamah Konstitusi
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi sering mengagetkan banyak orang. Walaupun lembaga ini masih baru, kurang dari 5 tahun[2], banyak putusannya yang dapat dikatakan sangat berani dan menimbulkan perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta para politisi. Beberapa putusannya yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra antara lain mengenai dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30 S/PKI[3], menyatakan tidak mempnuanyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan undang-undang ketenagalistrikan,[4] menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK)[5] yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beberapa pasal UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan masih banyak lagi yang lainnya. Terakhir, yang menghebohkan adalah surat Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan” Presiden bahwa dalam penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004 (Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang telah menyatakan beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perkembangan terakhir ini telah menimbulkan perdebatan tentang posisi MK dalam format ketatanegaraan RI. Bagaimana mungkin sembilan hakim konstitusi dapat menggugurkan putusan berupa produk undang-undang yang telah diputuskan oleh 550 orang anggota DPR bersama Presiden. Persoalan yang lebih jauh lagi, dengan suratnya kepada Presiden tersebut, MK seakan-akan hendak mengawasi dan “mengeksekusi” sendiri pelaksanaan putusannya agar dihormati. Tulisan ini hendak menganalisis posisi MK dalam format ketatanegaraan RI, khususnya dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya serta impelementasi pelaksanaan berbagai putusannya.
Konsep Dasar dan Perkembangan Mahkamah Konstitusi
Pembentukan mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri karena kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar kenamaan dari Universitas Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama ‘Verfassungsgerichtshoft’ atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria.[6] Menurut Hans Kelsen[7] kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku. Lebih lanjut Hans Kelsen[8] menyatakan:
“There may be a special organ established for this purpose, for instance, a special court, as so-called “constitutional court” or the control of the constituionality of statutes, the so called “judicial review” may be conferred upon the ordinary court, and especially upon the supreme court.”
Menurut Kelsen[9], suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga yang lain. Jika pengadilan biasa berwenang untuk menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang hanya berhak menolak untuk menerapkannya atau mengesampingkannya dalam kasus-kasus konkrit yang diputuskan, tetapi organ yang lainnya tetap berkewajiban menerapkan undang-undang itu. Sepanjang suatu undang-undang tidak dinyatakan tidak berlaku, adalah tetap “constitutional” dan tidak “unconstitutional”, walaupun rasanya undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, suatu undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku oleh pembentuk undang-undang yaitu legislatif dan juga dapat dinyatakan tidak berlaku oleh mahkamah konstitusi. Pemikiran Hans Kelsen ini tidak lepas pelaksanaan teori hukum murni dan teori hiraki norma yang sangat terkenal yang dikemukakannya dimana konstitusi ditempatkan sebagai norma hukum yang superior dari undang-undang biasa.
Jadi pada awalnya mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari suatu undang-undang terhadap konstitusi. Karena itu mahkamah konstitusi sering disebut sebagai “the guardian of the constitution” (pengawal konstitusi).
Dengan kewenangannya yang dapat menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang, posisi mahkamah konstitusi berada ada di atas lembaga pembentuk undang-undang. Itulah sebabnya sejak awal Hans Kelsen telah menyatakan sebagaimana telah ditulis di awal tulisan ini bahwa lembaga ini dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas legislatif dan mestinya secara politik tidak dikehendaki, khususnya jika memutuskan bahwa suatu undang-undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi negara-negara yang menempatkan superioritas parlemen yang cukup besar karena dianggap cerminan kedaultan rakyat, tidak menempatkan mahkamah konstitusi dalam posisi di atas pembentuk undang-undang, seperti Dewan Konstitusi Perancis yang hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang yang telah dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan. Bahkan Kerajaan Inggeris dan Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip bahwa parlemenlah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui sah tidaknya suatu undang-undang.[10]
Dalam perkembangannya, konsep dasar pembentukan mahkamah konstitusi di berbagai negara sangat terkait dengan perkembangan prinsip-prinsip dan teori ketatanegaraan modern yang dianut oleh berbagai negara yang menganut prinsip konstitusionalisme, prinsip negara hukum, prinsip check and balances, prinsip demokrasi dan jaminan perlindungan hak asasi manusia prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak serta pengalaman politik dari masing-masing negara. Keberadaan mahkamah konstitusi dibutuhkan dalam menegakkan prinsip-prinsip tersebut.
Konstitusionalisme merupakan paham yang berprinsip bahwa pelaksanaan kekuasaan negara oleh organ-organ negara harus berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi tidak dapat ditolerir karena akan menimbulkan kekuasaan yang tiran dan semena-mena. Karena itu prinsip konstitusonalisme juga terkait dengan prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan (check and balances), yaitu kekuasaan lembaga-lembaga negara dibagi secara seimbang. Kekuasaan negara tidak boleh bertumpu pada satu lembaga negara karena akan dapat menimbulkan penyelahgunaan kekuasaan negara. Dalam mengawasi pelaksanaan kekuasaan lembaga-lembaga negara tersebut, agar tetap sesuai dengan kehendak rakyat diperlukan prinsip demokrasi dan penghormatan atas hak asasi mansuia. Artinya, karena kekuasaan negara bersumber dari rakyat maka akan selalu dapat dikontrol oleh rakyat dan selalu mengormati hak-hak dasar rakyat. Alat ukur bagi rakyat untuk mengawasi penyelenggaraan kekuasaan negara oleh lembaga negara adalah hukum dan konstitusi. Disnilah prinsip negara hukum dan rule of law menjadi penting. Untuk menilai secara obyektif dan independen apakah suatu tindakan negara (lembaga-lembaga negara) melanggar konstitusi atau hukum, dibutuhkan suatu lembaga yang mengadili dan memutuskannya yang dijamin oleh konstitusi. Di sinilah konsep dasar dibutuhkannya mahkamah konstitusi yang berkembang sekarang ini.
Putusan pembentuk undang-undang yang berupa undang-undang (di Indonesia adalah DPR dan Presiden), dapat saja bertentangan dengan ketentuan konstitusi, karena lembaga DPR dan Presiden adalah lembaga politik, baik karena kekeliruan dalam mengimplementasikan ketentuan konstitusi (undang-undang dasar) maupun karena kesengajaan untuk membentuk undang-undang bagi kepentingan melanggengkan kekuasaan politik, dapat diminta untuk ditinjau kembali dan diuji oleh mahkamah konstitusi apakah sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Jika bertentangan dengan konstitusi, undang-undang tersebut dapat duinayatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum oleh mahkamah konstitusi. Demikian juga halnya yang berkembang dari prinsip pembagian kekuasaan antar lembaga negara yang mungkin timbul sengketa perebutan kewenangan antar lembaga negara, ditbutuhkan suatu mahkamah yang independen untuk mengadili dan memutuskannya yang sengaja diberi kewenangan oleh konstitusi untuk itu. Karena itu di negara-negara yang tradisi kehidupan konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi mansuianya masih baru, keberadaan mahkamah konstitusi mejadi daya tarik yang sangat luar biasa. Seperti dikemukakan oleh Jimliy Asshiddiqy, hampir semua negara-negara demokrasi baru di Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan terakhir eks negara-negara komunis di Eropa Timur mengadopsi pembentukan mahkamah konstitusi.[11]
Walaupun demikian, di berbagai negara mahkamah konstitusi bukanlah satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan menyatakan inkonstituisionalitas dari suatu undang-undang atau memutus masalah kostitusional lainnya. Di banyak negara lainnya pengujian konstitusionalitas dari suatu undang-undang menjadi kewenangan mahkamah agung seperti Amerika Serikat yang telah memulai sejak tahun 1803 dalam kasus Marbury vs Madison. Bahkan di banyak negara lainnya tidak dikenal pengujian undang-undang baik oleh mahkmah konstitusi maupun oleh mahkamah agung seperti antara lain yang dianut oleh Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggeris.
Setelah dibentuk pertama kali berdasarkan Konstitusi Wina tahun 1920 mahkamah konstitusi terus diadopsi oleh berbagai negara. Sekarang mahkamah konstitusi telah ada di 78 negara termasuk Indonesia[12]. Namun demikian kewenangan mahkamah konstitusi juga meluas yang tidak saja hanya untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar seperti dikonsepsikan oleh Hans Kelsen – walaupun fungsi utama dari mahkamah konstitusi yang selalu sama di setiap negara adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar – tetapi juga memiliki kewenangan-kewenangan lainnya yang berhubungan dengan lingkup hukum ketatanegaraan, seperti memutus sengketa pemilu, sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran partai politik, pemberhentian presiden, memutus konstitusionalitas dari seluruh peraturan perundang-undangan, serta mengadili constitutional complaint[13] dari warga negara. Putusan mahkamah konstitusi dalam menjalankan berbagai kewenangannya tersebut bersifat final. Atinya sekali mahkamah konstitusi memutuskan suatu persoalan yang diajukan kepadanya dalam lingkup kewenangannya dan tidak ada upaya hukum lain untuk melawannya.
Sebagai contoh Mahakamh Konstitusi Austria yang dibentuk sejak tahun 1920, memiliki 9 kewenangan, yaitu :
- pengujian konstitusionalitas undang-undang,
- pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
- pengujian perjanjian internasional,
- perselisihan pemilihan umum,
- peradilan impeachment,
- Kewenangan sebagai peradilan administrasi khusus yang terkait dengan constitutional complaint individu warga negara,
- Sengketa kewenangan dan pendapatan keuangan antar negara bagian dan antara negara bagian dengan federal,
- Sengketa kewenangan antar lembaga negara, dan
- Kewenangan memberikan penafsiran undang-undang dasar.[14]
Mahkamah Konstitusi RI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pemikiran mengenai pentingnya suatu mahkamah konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolok oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.[15]
Ide pembentukan Mahkamah konstitusi pada era reformasi, mulai dikemukakan pada masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), yaitu setelah seluruh anggota Badan Pekerja MPR RI melakukan studi banding di 21 negara mengenai konstitusi pada bulan Maret-April tahun 2000. Ide ini belum muncul pada saat perubahan pertama UUD 1945, bahkan belum ada satu pun fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengajukan usul itu. Nampaknya para anggota MPR sangat terpengaruh atas temuannya dalam studi banding tersebut. Walaupun demikian pada Sidang Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2000, rancangan rumusan mengenai mahkamah konstitusi masih berupa beberapa alternatif dan belum final[16]. Sesuai rancangan tersebut, mahkamah konstitusi di tempatkan dalam lingkungan mahkamah agung, dengan kewenangan untuk melakukan uji materil atas undang-undang; memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang; serta kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Ada usulan alternatif, agar di luar kewenangan tersebut mahkamah konstitusi juga diberi kewenangan untuk memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah.
Setelah dibahas kembali pada masa sidang PAH I BP MPR RI tahun 2000/2001, yaitu dalam rangka persiapan draft perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara repbulik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk disahkan pada sidang tahunan 2001, terjadi banyak perubahan mengenai rumusan tentang mahkamah konstitusi. Persoalan pokok yang pertama adalah apakah mahkamah konstitusi ditempatkan di lingkungan mahkamah agung atau ditempatkan terpisah dari lingkungan mahkamah agung tetapi masih dalam rumpun kekuasaan kehakiman, dan persoalan kedua apa saja yang menjadi kewenangan mahkamah konstitusi.
Pertama, disepakati bahwa mahkamah konstitusi ditempatkan terpisah dan di luar lingkungan mahkamah agung akan tetapi tetap dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini adalah lembaga yang sangat penting untuk membangun negara yang berdasar sistem konstitusionalisme, sehingga lembaga ini berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang secara tegas ditentukan kedudukan dan kewenangannya dalam undang-undang dasar. Terdapat kekhawatiran bahwa mahkamah agung tidak akan mampu membawa misi besar mahkamah konstitusi untuk membangun sistem konstitusionalisme karena pekerjaan mahkamah agung yang pada saat itu tidak mampu menyelesaikan perkara-perkara kasasi dan peninjauan kembali yang menumpuk. Jika ditambah lagi dengan tugas-tugas mahkamah konstitusi dikhawatirkan pekerjaan mahkamah agung akan terbengkalai. Pada sisi lain dibutuhkan satu mahkamah tersendiri yang berdiri sejajar dengan mahkamah agung dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk menjalankan tugas mengawal sistem konstitusionalisme Indonesia. Dengan demikian posisi mahkamah konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia menjadi kuat.
Kedua, kewenangan mahkamah konstitusi disepakati untuk ditentukan secara limitatif dalam undang-undang dasar. Kesepakatan ini mengandung makna penting, karena mahkamah konstitusi akan menilai konstitusionalitas dari suatu undang-undang atau sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya ditentukan dalam undang-undang dasar, karena itu sumber kewenangan mahkamah konstitusi harus langsung dari undang-undang dasar. Dengan demikian tidak ada ada satu lembaga negara yang dapat mempermasalahkan atau menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Pada sisi lain mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara pengawal konstitusi tidak melakukan tindakan atau memberikan putusan yang keluar dari kewenangannya yang secara limitatif ditentukan dalam undang-undang dasar. Demikian juga halnya pembentuk undang-undang tidak dapat mengurangi kewenangan mahkamah konstitusi melalui ketentuan undang-undang sehingga melumpuhkan ide dasar pembentukan mahkamah konstitusi. Dengan prinsip inilah dihapus kesepakatan awal yang memungkinkan adanya kewenangan lain mahkamah konstitusi yang ditentukan undang-undang sebagaiman draft awal PAH I BP MPR RI tahun 2000.
Menurut UUD 1945, Mahkamah Konstitusi RI, memiliki 4 kewenangan, yaitu :
- menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar;
- memutus pembubaran partai politik;
- memutus perselisihan tentang hasil pemlihan umum.
Disamping itu dalam rangka proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi RI berkewajiban untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atu Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pembentukan mahkamah konstitusi diperlukan untuk menegakkan prinsip negara hukum Indonesia dan prinsip konstitusionalisme. Artinya tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan undang-undang dasar sebagai puncak dari tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Dalam rangka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dibutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. Tugas mahkamah konstitusilah yang menjaga konstitusionalitas hukum itu.
Pembentukan mahkmah konstitusi juga terkait dengan penataan kembali dan reposisioning lembaga-lembaga negara yang sebelum perubahan UUD 1945 berlandaskan pada supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang sebelum perubahan berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, diubah menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”, telah membawa implikasi yang sangat luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Artinya, sebelum perubahan, kedaulatan rakyat berpuncak pada MPR, dan MPR-lah sebagai penyelesaian final atas setiap masalah ketatanegaraan yang muncul baik atas konstitusionalitas dari suatu undang-undang maupun penyelesaian akhir sengketa antar lembaga negara. Dengan dasar konsepsional inilah ketetapan MPR RI No. III Tahun 2000 menentukan bahwa pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh MPR dan setiap lembaga negara melaporkan penyelenggaraan kinerjanya kepada MPR setiap tahun.
Implikasi perubahan Pasal 1 ayat (2) tersebut, posisi MPR sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya dan masing-masing lembaga negara adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan kewenangannya yang ditentukan undang-undang dasar. Dengan demikian MPR melaksanakan kedaulatan rakyat untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden sesuai ketentuan undang-undang dasar, serta dalam hal-hal tertentu mengangkat presiden dan/atau wakil presiden. Mahkamah konstitusi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam undang-undang dasar, memutus sengketa pemilihan umum serta memutus pembubaran partai politik. Demikian juga lembaga negara yang lainnya adalah pelaksana kedaulatan rakyat sesuai tugas dan wewenangnya yang ditentukan dalam undang-undang dasar.
Kewenangan mahkamah konstitusi yang dapat menyatakan tidak mempunyai kekuatan atas suatu undang-undang produk legislatif produk DPR dan Presiden serta memutuskan sengketa antar lembaga negara, menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini wajar saja karena Undang-Undang Dasar memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir paling absah dan authentik terhadap konstitusi. Walaupun demikian, pendapat dan penafsiran hukum mahkamah konstitusi yang dapat diterima penafsiran yang dikeluarkan melalui putusannya atas permohonan yang diajukan kepadanya sesuai lingkup kewenangannya untuk mengadili dan memutus suatu perkara.
Dengan posisi yang demikian penting itu undang-undang dasar menetapkan kwalifikasi yang sangat ketat bagi anggota mahkamah konstitusi, antara lain memiliki integiritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sembilan orang anggota mahkamah konstitusi juga merepresentasikan tiga unsur lembaga negara yaitu masing-masing-masing 3 orang anggota yang diajukan oleh presiden, DPR dan mahkamah agung.
Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Lembaga Negara Lainnya
1. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Presiden
Dalam UUD 1945 hanya ada dua aspek yang secara eksplisit menunjukkan hubungan antara Mahkamah Konstitusi denga Presiden yaitu pada proses pemberhentian presiden dan pada penunjukkan dan penetapan hakim konstitusi.
Dalam proses pemberhentian presiden posisi mahkamah konstitusi bersifat pasif, yaitu hanya menunggu pengajuan permintaan pendapat (pendapat hukum) dari DPR, tentang tindakan presiden yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun dianggap telah tidak memenuhi syarat sebagai presiden, sebagai syarat untuk dapat mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR. Jika mahkamah konstisui memutuskan bahwa ternyata dari sisi hukum pendapat DPR memiki dasar hukum dan konstitusi sehingga mahkamah konstitusi mengabulkan pendapat DPR, maka DPR dapat mengajukan pengusulan pemberhentian presiden kepada MPR. Sebaliknya jika mahkamah konstitusi tidak membenarkan atau menolak pendapat DPR, maka proses pengusulan pemberhentian itu dihentikan.[17]
Disamping itu, 3 dari 9 orang hakim konstitusi diajukan atau ditunjuk oleh Presiden yang menunjukkan adanya representasi lembaga presiden dalam kompisisi anggota mahkamah konstitusi. Tetapi dalam melaksanbakan tugasnya hakim konstitusi yang berasal dari lembaga manapun berkerja secara independen, dan tidak terpengaruh pada pendapat atau pandangan dari lembaga negara yang mengajukannya. Presiden sebagai kepala negara menetapkan pengangkatan para hakim konstitusi yang telah diajukan oleh masing-masing lembaga negara dan mengucapkan sumpah di hadapan presiden.
Secara implisit banyak hubungan lainnya yang terbangun antara presiden dengan mahkamah konstitusi terutama terkait dengan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan dan penyelenggara administrasi negara. Mahkamah konstitusi akan selalu membutuhkan bantuan pelayanan administrasi dari presiden selaku penyelenggara administrasi negara serta dukungan anggaran dan keuangan serta fasilitas bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi mahkamah konstitusi yang ditetapkan oleh presiden bersama dengan DPR.
2. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan DPR
Selain dalam hubungannya dengan penunjukkan 3 orang hakim konstitusi yang diajukan atau ditunjuk oleh DPR, secara eksplisit hubungan antara mahkamah konstitusi dengan DPR hanya terkait dengan proses pemberhentian presiden sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
3. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung
Mahkamah konstitusi dan mahkamah agung sama-sama berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kedua lembaga tersebut harus menghormati prinsip-prinsip yang dianut dalam proses peradilan dan prinsip negara hukum. Walaupun mahkamah agung tidak berwenang untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar bukan berarti dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya, mahkamah agung tidak berwenang untuk menilai suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Dalam menghadapi kasus-kasus konkrit, mahkamah agung dalam rangka menegakkan keadilan dan yang adil (just law) dapat mengesampingkan ketentuan undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar. Akan tetapi mahkamah agung tidak dapat menyatakan bahwa ketentuan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena hal itu adalah kewenangan ekslusif dari mahkamah konstitusi. Artinya ketentuan undang-undang tetap berlaku dan tetap dapat diterapkan oleh lembaga manapun dalam kasus-kasus lain, sepanjang tidak dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh mahkamah konstitusi.
Mahkamah konstitusi dengan kewenangannya dapat melakukan pengujian dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas ketentuan undang-undang yang dijadikan dasar oleh mahkamah agung dalam memutus suatu perkara kasuistis. Akan tetapi mahkamah konstitusi tidak dapat membatalkan putusan mahkamah agung, karena bukan kewenangannya sebagaimana ditentukan undang-undang dasar.
4. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang Lainnya
Mehkamah konstitusi merupakan tempat bagi lembaga-lembaga negara lainnya untuk mengadu dan meminta keputusan mengenai lembaga negara yang mana yang memiliki landasan konstitusionalitas wewenang yang benar jika terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sengketa kewenangan bisa terjadi antara DPR dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), antara presiden dengan DPR atau antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan presiden dan lain-lain. Hal yang masih menjadi soal yang sering dipertanyakan adalah bagimana memutuskannya jika terjadi sengketa kewenangan antara mahkamah konstitusi dengan lembaga negara yang lainnya. Siapa yang harus memutuskan. Secara teori tidak mungkin mahkamah konstitusi yang akan memutuskan sengketa demikian karena akan terjadi conflict of interest, sama halnya dengan seorang hakim yang dilarang untuk memeriksa dan mengadili perkaranya sendiri. Walaupun pada saat perumusan perubahan UUD 1945 di PAH I BP MPR dan pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi di DPR masalah ini dibicarakan tetapi tidak ada suatu solusi yang diberikan, kecuali menyerahkan pada praktek ketatanegaraan. Mahkamah konstitusi diharapkan bijak untuk tidak bersengketa kewenangan dengan lembaga negara lainnya atau mengambil kewenangan lembaga negara yang lain. Disnilah kewibawaan mahkamah konstitusi ditunjukkan agar dihormati dalam praktek kenegaraan.
Pelakasanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi pada dasarnya adalah sebuah mahkamah ketatanegaraan yang sesungguhnya adalah sebuah mahkamah politik. Seperti halnya peradilan tata usaha negara yang tidak ada upaya paksa dalam pelaksanaan putusannya kecuali diserahkan pada kepatuhan terhadap hukum dari lembaga atau pejabat negara yang dikenai putusan itu.
Dalam kasus pelaksanaan putusan MPR yang telah memutuskan untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid, orang berpikir bagaimana mengeksekusi putusan itu, karena Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu menyatakan tidak akan meninggalkan istana negara karena menganggap putusan MPR adalah tidak sah. Undang-undang dasar maupun undang-undang tidak menentukan bagaimana eksekusi pelaksanaan putusan lembaga MPR itu. Disnilah ciri khas putusan sebuah peradilan dan lembaga politik yang berbeda dengan peradilan pidana atau perdata yang dapat meminta bantuan alat negara untuk mengekesekusi secara paksa pelaksanaan suatu putusan peradilan. Karena itu saya sangat setuju dengan istilah “keadilan dan keadaban” yang dikemukan oleh Jimly Asshiddiqy,[18] dalam memahami sila kedua dari Pancasila. Keadilan hanya akan dapat dipahami dengan baik dalam masyarakat yang beradab, dan sebaliknya masyarakat yang beradab pasti akan memahami dan menaati hukum dengan penuh kesadaran tanpa harus dipaksa. Kekuatan sebuah putusan mahkmah konstitusi terkandung dalam putusanya yang menghormati prinsip negara hukum, prinsip konstitusionalisme, keadilan serta kenegarawanan. Putusan demikian memiliki kekuatan politik untuk memperoleh dukungan dari rakyat pemegang kedaulatan.
Kesimpulan
1. Mahkamah konstitusi merupakan lembaga negara yang baru yang diintrodusir pada perubahan UUD 1945, untuk menjaga kemurnian konstitusi dengan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar serta kewenangan lainnya yang terkait dengan fungsinya sebagai the guardian of the constitution, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus sengketa pemilu, memutus pembubaran partai politik serta mengadili dan memutuskan pendapat DPR mengani usul pemberhentian presiden.
2. Posisi mahkmah konstitusi nampak lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya ketika memutus konstitusionalitas dari suatu ketentuan undang-undang. Walaupun demikian sesungguhnya dalam struktur ketatanegaran RI, posisi mahkamah konstitusi sejajar dengan lembaga negara yang lainnya dengan kewenangan yang secara limitatif diberikan undang-undang dasar.
3. Mahkamah konstitusi bersifat pasif, hanya memutus perkara yang diajukan kepadanya dan tidak dapat memberikan fatwa selain dalam hubungan dengan putusan perkara yang diajukan kepadanya sesuai kewenangan yang ditentukan undang-undang dasar. Pelaksanaan putusan mahkmah konstitusi berada ditangan lembaga negara yang dikenai atau terkait putusan itu.
Kamis, 19 Januari 2012
makalah kewarganegaraan - nasionalisme
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul “Nasionalisme Di
Indonesia”. Berbagai sumber telah penulis ambil sebagai bahan dalam pembuatan
karya ilmiah ini.
Penulis
berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan penulis juga
menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih banyak kekurangannya.
Untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun demi
kemajuan dimasa yang akan datang.
Wassalam
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Berbagai
masalah yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia mulai dari masalah kemiskinan,
pengangguran, terorisme dan lain sebagainya. Menimbulkan suatu ataupun banyak
permasalahan. Salah satunya adalah rendahnya rasa Nasionalisme Bangsa
Indonesia. Memang itu tidak bisa dipungkiri, karena masyarakat lebih memilih
untuk kelangsungan hidupnya dari pada memikirkan hal-hal seperti itu yang dianggapnya
tidak penting. Padahal rasa nasionalisme itu sangat penting sekali bagi bangsa
Indonesia untuk bisa menjadi bangsa yang maju, bangsa yang modern , bangsa yang
aman dan damai, adil dan sejahtera.
Itu
berbanding terbalik dengan situasi yang terjadi pada sejarah bangsa Indonesia
di masa penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia mencapai puncak kejayaan rasa
nasionalime pada masa tersebut. Dimana pejuang-pejuang terdahulu kita bersatu
dari sabang sampai merauke untuk membebaskan diri dari tirani. Yang mana itu bisa
terwujud jika adanya rasa nasionalisme yang tinggi di masyarakat Indonesia. Dan
telah terbukti kita bisa memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan
semangat juang yang tinggi. Tapi bagaiman dengan saat ini? Hal tersebut pun
berpengaruh pada ketahanan nasional bangsa ini. Dapat kita lihat aksi bom-bom
di Negara Indonesia ini seakan menjawab bahwa rendah sekali rasa nasionalisme
kita hingga kita bisa-bisanya merusak bangsa dan Negara kita sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
Keterkaitan
mengenai tinggi ataupun rendahnya rasa Nasionalisme memang berkaitan erat
dengan banyak faktor. Faktor tersebut bisa dikarenakan kita telah dibodohi
selama 32 tahun yang membuat rasa nasionalisme kita menjadi luntur. Tapi ada
juga faktor yang berasal dari kita sendiri misalnya tingkat kemiskinan dan
pengangguran, orang miskin pastinya tidak memikirkan hal-hal yang seperti itu
namun meraka lebih sering memikirkan bagaimana mereka dapat makan esok hari
padahal seperti yang tertera dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 3 yang berbunyi :
Pasal
27 ayat 3
“Setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa kita wajib melakukan upaya pembelaan Negara yang
tentunya harus dengan rasa nasionalisme yang timbul dari diri kita sendiri.
Yang jadi pertanyaan masih adakah Rasa Nasionalisme Masyarakat Indonesia dalam
diri mereka?
1.3.
Maksud dan Tujuan
Tujuan
dari penulisan karya ilmiah mengenai “Rendahnya Rasa Nasionalisme Bangsa
Indonesia” adalah yang pertama untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
yaitu Pendidikan Pancasila. Selain hal itu, topik ini sangat menarik untuk
diperbincangkan. Karena Rasa Nasionalisme itu bisa tumbuh subur jika
faktor-faktor penunjang lainnya pun bagus atau tercapai. Karena Rasa
Nasionalisme sangat berkaitan erat dengan tinggkat kesejahteraan masyarakat itu
sendiri.
BAB
II
NASIONALISME
2.1. Pengertian Nasionalisme
Menurut
Ernest Renan: Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan
bernegara.
Menurut
Otto Bauar: Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter
yang timbul karena perasaan senasib.
Menurut
Hans Kohn, Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National
Counciousness. Dengan perkataan lain nasionalisme adalah bentuk dari kesadaran
nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Dan kesadaran nasional inilah yang
membentuk nation dalam arti politik, yaitu negara nasional.
Menurut
L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh
sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai
perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa.
Menurut
Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and
Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu:
- Hasrat untuk mencapai kesatuan.
- Hasrat untuk mencapai kemerdekaan.
- Hasrat untuk mencapai keaslian.
- Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.
Sedangkan
menurut Louis Sneyder. Nasionalisme adalah hasil dari perpaduan
faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan intelektual.
Nasionalisme
timbul dari diri kita sendiri, rasa itu timbul jika kita meraskan hal yang sama
dengan orang lain ataupun masyarakat yang lainnya. Jadi nasionalisme berbanding
lurus dengan persamaan anatara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
2.2 Karakteristik Nasionalisme
Karakteristik
Nasionalisme yang melambangkan kekuatan suatu negara dan aspirasi yang
berkelanjutan, kemakmuran, pemeliharaan rasa hormat dan penghargaan untuk
hukum.
Nasionalisme
tidak berdasarkan pada beberapa bentuk atau komposisi pada pemerintahan tetapi
seluruh badan negara, hal ini lebih ditekankan pada berbagi cerita oleh rakyat
atau hal yang lazim, kebudayaan atau lokasi geografi tetapi rakyat berkumpul
bersama dibawah suatu gelar rakyat dengan konstitusi yang sama.
- Membanggakan pribadi bangsa dan sejarah kepahlawanan pada suatu Negara.
- Pembelaan dari kaum patriot dalam melawan pihak asing.
- Kebangkitan pada tradisi masa lalu sebagai bagian mengagungkan tradisi lama karena nasionalisme memiliki hubungan kepercayaan dengan kebiasaan kuno. Seperti nasionalisme orang mesir bahwa kaum patriot harus memiliki pengetahuan tentang kebudayaan mesir yang tua dan hebat untuk menjaga kelangsungan dari sejarah.
- Suatu negara cenderung mengubah fakta sejarah untuk kemuliaan dan kehebatan negaranya.
- Ada spesial lambang nasionalisme yang diberikan untuk sebuah kesucian. Bendera, lambang nasionalisme dan lagu nasionalisme merupakan hal yang suci untuk semua umat manusia sebagai kewajiban untuk pengorbanan pribadi.
2.3.
Jenis-jenis Nasionalisme
Snyder
membedakan empat jenis nasionalisme, yaitu:
- Nasionalisme revolusioner,
(terjadi di Perancis pada akhir abad ke18).
Untuk negeri yang dikatakan memiliki nasionalisme revolusioner, ketika elite politik sangat berkeinginan untuk melakukan demokratisasi, tapi lembaga perwakilan yang ada jauh dari memadai untuk mengimbanginya. - Nasionalisme kontrarevolusioner, (terjadi di Jerman sebelum Perang Dunia I). Negeri yang bernasionalisme kontrarevolusioner, para elite politiknya menganggap diri selalu benar dan untuk itu lewat lembaga perwakilan yang ada, mereka menyerang pihak yang mereka anggap sebagai musuh atau melawan kepentingan mereka.
- Nasionalisme sipil, (merujuk pada perkembangan di wilayah Britania dan Amerika hingga sekarang). Suatu negeri dikatakan memiliki nasionalisme sipil ketika ia memiliki lembaga perwakilan yang kuat, dan juga para elite politiknya memiliki kelenturan dalam berdemokrasi.
- Nasionalisme SARA (diterjemahkan dari kata ethnic nationalism) (terjadi di Yugoslavia atau Rwanda).
SARA
di sini merujuk pada akronim zaman Orde Baru, yakni suku, agama, ras, dan antar
golongan, yang sering kali justru ditabukan untuk dibicarakan dalam negeri yang
sangat plural ini. Dapat dikatakan nasionalisme SARA jika para elite politik
negara tersebut tidak menganut paham demokrasi, dan mengekspresikan
kepentingannya hanya untuk membela satu kelompok tertentu lewat lembaga-lembaga
perwakilan yang ada. Snyder memilah empat jenis nasionalisme tersebut dan Ia
membedakannya dari interseksi kuat atau lemahnya lembaga perwakilan politik,
dan lentur atau tidak lenturnya kepentingan elite politik terhadap demokrasi.
2.4.
Makna Nasionalisme
Makna
Nasionalisme secara politis merupakan kesadaran nasional yang mengandung
cita-cita dan pendorong bagi suatu bangsa, baik untuk merebut kemerdekaan atau
menghilangkan penjajahan maupun sebagai pendorong untuk membangun dirinya
maupun lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya.
Kita
sebagai warga negara Indonesia, sudah tentu merasa bangga dan mencintai bangsa
dan negara Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan kita terhadap bangsa dan negara
tidak berarti kita merasa lebih hebat dan lebih unggul daripada bangsa dan
negara lain. Kita tidak boleh memiliki semangat nasionalisme yang berlebihan
(chauvinisme) tetapi kita harus mengembangkan sikap saling menghormati,
menghargai dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain.
Jadi
Nasionalisme dapat juga diartikan:
- Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinisme.
- Sedang dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.
2.5.
Nasionalisme Pancasila
Pada
prinsipnya nasionalisme Pancasila adalah pandangan atau paham kecintaan manusia
Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila.
Prinsip
nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan
agar bangsa Indonesia senantiasa:
- Menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan
- Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan Bangsa dan Negara
- Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia tidak rendah diri
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa
- Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia
- Mengembangkan sikap tenggang rasa
- Tidak semena-mena terhadap orang lain
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
- Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
- Berani membela kebenaran dan keadilan
- Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia.
- Menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
2.6.
Beberapa Bentuk Dari Nasionalisme
Nasionalisme
dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan
negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara,
etnis,
budaya,
keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori
nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
2.6.1.
Nasionalisme Kewarganegaraan
(atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak
rakyat", "perwakilan politik".
2.6.2.
Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme di mana
negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah
masyarakat.
2.6.3.
Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme
identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh
kebenaran politik syang menjadi ("organik") hasil dari bangsa atau
ras, menurut semangat romantisme.
Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang
menepati idealisme romantic, kisah tradisi yang telah direka untuk konsep
nasionalisme romantik.
2.6.4.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya
"sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik
ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya.
Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih
dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok.
Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa
membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah
banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan
budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
2.6.5.
Nasionalisme Kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan,
selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah
kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan
2.6.6.
Nasionalisme Agama
ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari
persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah
dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan
BAB
III
NASIONALISME
DI INDONESIA
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, suku, ras dan agama. Hal
tersebut sangat berkaitan dengan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia, tinggi
ataupun rendahnya rasa nasionalisme Indonesia ditimbulkan banyak faktor yang
mempengaruhi. Faktor yang berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya rasa
nasionalisme tersebut antara lain pengaruh budaya-budaya barat yang dengan
sangat mudahnya masuk dan mempengaruhi budaya Indonesia yang jati dirinya
adalah budaya timur. Adapula faktor ekonomi yang mempengaruhi rasa nasionalisme
bangsa Indonesai. Terlepas dari faktor-faktor tersebut sebenarnya dalam sejarah
bangsa menyebutkan bahwa rasa nasionalisme pada jaman penjajahan lebih tinggi
dari pada saat ini, memang tidak bisa dipungkiri hal tersebut membuat bangsa
Indonesia dapat terlepas dari penjajahn Belanda yang tentu saja dulu bisa
dibilang dipelopori oleh Bung Karno.
Nasionalisme
sendiri banyak jenisnya. Di Indonesia sendiri saat ini lebih mengarah pada
jenis nasionalisme kontrarevolusioner yang transparan dapat dilihat oleh kaum awam,
karena elite politik kita selalu saja merasa dirinya benar dan apabila melihat
sesuatu tidak sesuai dengan kepentingannya mereka tidak akan sungkan untuk
melawan musuhnya. Selama ini nasionalisme yang digunakan oleh penguasa adalah
jenis nasionalisme artikuaris, yaitu nasionalisme yang selalu mengkaitkan
dengan sejarah kejayaan masa lalu tanpa melihat keterkaitan dengan masa
sekarang terlebih masa depan.
Nasionalisme
yang selalu mengagung-agungkan sejarah dan kebudayaan bangsa, namun
pelaksanaanya pada keadaan aktual justru nol atau sebaliknya, menginjak-injak
budaya dan sejarah bangsa serta memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan.
Maka, jual beli ideologi dan penghianatan atas kepercayaan rakyat tidak
terhindarkan. Hubungan antara nilai-nilai antik yang dimuliakan itu dan tingkah
laku sosial-politik kian serba tidak jelas, seringkali sambil membanggakan
kebudayaan bangsa, dengan mudahnya mencabut nyawa orang. Atau sambil menyerukan
toleransi, tanpa malu-malu menculik orang-orang yang berbeda pendapat. Dan
sambil berkotbah mengenai tepo sliro, tapi mencuri uang milik rakyat, merampas
tanah penduduk.
UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN
1945
PEMBUKAAN
Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
Dalam
penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa pembukaan UUD mengandung empat pokok
pikiran, yakni : pokok pikiran persatuan yang merupakan dasar Negara, pokok
pikiran keadilan sosial yang merupakan tujuan Negara, pokok pikiran kedaulatan
rakyat yang merupakan system Negara, dan pokok pikiran Ketuhanan Yang Maha Esa
dan kemanusiaan yang merupakan fundamen moral Negara.
Pokok
pikiran tentang dasar Negara, tujuan Negara, dan system Negara yang
ketiga-tiganya menjadi satu kesatuan sebagai fundamen politik Negara, dijiwai
oleh fundamen moral Negara, yang artinya politik Negara Indonesia tidak boleh
bertentangan dengan hokum Tuhan, hokum kodrat dan hukumetik, sebagai perwujudan
dari fundamen moral Negara, sebagaimana dibicarakan dalam kajian Pancasila
sebagai Yuridis kenegaraan.
Dalam
pokok pikiran persatuan sebagai inti dasar Negara yang sekaligus merupakan
dasar yang utama ialah untuk mewujudkan nasionalisme Indonesia atau disebut
juga dengan nasionalisme Pancasila. Sebagai pokok pikiran keadilan social
sebagai tujuan Negara untuk mewujudkan sosialisme Pancasila sebagai dasar
ekonomi Pancasila.Dan antara keduanya, dari dasar Negara untuk mewujudkan
tujuan Negara, ada suatu system tertentu yang harus dilaksanakan untuk mencapai
tujuan tersebut, yakni dengan demokrasi Pancasila sebagai sistem Negara.
3.1.
Sejarah Nasionalisme Bangsa Indonesia
Nasionalisme
merupakan suatu bentuk ideologi, demikian pendapat James G. Kellas (1998: 4).
Sebagai suatu ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu
bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku
seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas
bangsa.
Sedangkan
nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme
dan anti imperialisme. Pembentukan Indonesia sebagai nation selain faktor
kesamaan geografis, bahasa, kohesifitas ekonomi, dan yang paling pokok adalah
make up psikologis sebagai bangsa terjajah. Pengalaman penderitaan bersama
sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas
yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para
pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi
terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Berdirinya Republik Indonesia, telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa “Indonesie bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Berdirinya Republik Indonesia, telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa “Indonesie bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Proklamasi
Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna
yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran
nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia
bisa dibilang dipelopori oleh Bung Karno yaitu sejak masa mudanya, yang berkeyakinan
bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama,
budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan
melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya
masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan
sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan
tersebut.
Berdirinya
Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta
kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam
pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi
nasionalisme Indonesia adalah fakta yang tidak dapat ditilai dari teori-teori
atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa
“Indonesie bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata
“Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku
dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah
belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui
keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan
keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta
yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.
Bicara
tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa menerapkan
padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah
nasionalisme yang berpondasi dari Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut
bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut
Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan,
penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain. Maka nasionalisme
Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke
sovinisme (nasionalisme sempit) yang membenci bangsa atau suku bangsa lain,
menganggap bangsa atau sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul
dll. sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun
1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building
telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya yaitu state
building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation
building, perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa
kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh
timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru atau Rezim
Jendral Soeharto.
Sekarang
ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mempunyai banyak
masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius dan diberbagai asfek.
Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan
kesatuan negara Indonesia. Dengan melihat kembali ke sejarah lampau, kita melihat
jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orde Baru berlaku tatanan
pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national,
anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia.
Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan
kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh
rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian
rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya
dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan
terjadi penjajahan oleh rezim Orba atau rezim Soeharto. Kolonialisme Orba ini
meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan
dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi kerusakan yang
diakibatkannya telah menimbulkan krisis yang luar biasa, kemelaratan dan
kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi yang demikian itu rakyat
daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang
mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara
Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, misalnya antara suku
Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen
dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan
pengrusakan harta benda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. Adalah contoh retaknya
bangunan nasionalisme Indonesia.
Maka
dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut,
adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan jendral Soeharto. Tanpa
mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat
memperbaiki atau menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang sakit tersebut.
Memang
dengan melihat multi kultural bangsa, kita tidak mudah untuk membangkitkan
Negara ini dari keterpurukkan, bahkan dengan mengganti NKRI ini menjadi Negara
federal pun tidak dimungkinkan meski secara teori dan secara komposisi
masyarakat kita ini mengarah kepada yang demikian
Serta
alasan pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme
Indonesia tidak dapat dibenarkan.
Di
samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi
pembentukan negara federal di Indonesia:
- Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.
- Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.
Dari
persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana
tingkat atau kadar nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul
pandangan yang pesimistik. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik
yang cukup kuat juga, nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar
rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air
Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh
upaya-upaya serius oleh penyelenggara negara untuk:
- Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi otonomi daerah secara luas.
- Penegakan demokrasi yang tidak anarki, supremasi hukum yang berkeadilan dan demokrasi.
- Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun dalam masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya.
3.2.
Nasionalisme dan Negara Bangsa
Hubungan
negara dan warga negara sangat kuat, tidak dapat dilepaskan dari paham
nasionalisme. Kewarganegaraan merupakan konsekuensi dari paham nasionalisme.
Dengan terbentuknya negara bangsa atau negara modern maka yang paling penting
adalah siapa-siapa yang menjadi warga negara dan negara bangsa tersebut.
Nasionalisme memiliki banyak arti, tergantung dari penekanan dan sudut pandang
yang dipakai. Nasionalisme dapat diartikan kesadaran diri suatu bangsa.
Nasionalisme berkaitan dengan gagasan dan sentimen tentang identitas nasional bersamaan
dengan identitas seperti okupari, agama, suku, kelas, gender dan lain-lain.
Nasionalisme juga merupakan gerakan untuk meraih dan memelihara otonomi kohesi
dan individualitas bagi suatu kelompok.
Nasionalisme
terbagi menjadi 5 jenis yaitu :
- Nasionalisme humaniter
- Nasionalisme yacobin
- Nasionalisme tradisional
- Nasionalisme liberal
- Nasionalisme integral
Konsep
nasionalisme dapat dikatakan sebagai suatu konsep yang meletakkan kesetiaan
tertinggi seseorang pada suatu negara tertentu. Konsep nasionalisme berasal
dari peradaban purba Yunani dan Ibrani Purba. Yang kemudian diubah pandangannya
oleh kaum kosmopolitan dengan pendapat tidak ada bangsa yang ada warga dunia.
Dengan munculnya Rennaissance dan reformasi maka nasionalisme kemudian tumbuh
dan berkembang dan akhirnya lahirlah bangsa-bangsa modern.
Revolusi
Prancis pada tahun 1789 mengakibatkan perombakan total pada berbagai bidang
politik, negara memiliki peranan yang sangat penting memahami pendidikan agar
terbentuk generasi muda nasionalis. Revolusi ini digerakkan oleh bangsawan
nasionalis.
Indonesia
dapat dicirikan sebagai satu negara modern didasari dengan semangat kebangsaan
atau nasionalisme yaitu masyarakat untuk membangun masa depan bersama negara
walaupun berbeda-beda suku, agama, ras, etnik, budayadan golongan. Nasionalisme
lahir pada abad 20 dengan adanya organisasi Boedi Oetomo yang menghasilkan
ketetapan Sumpah Pemuda pada tanggal 20 Oktober 1928. Tetapi pada saat itu
belum dilandasi dengan nasionalisme. Akar nasionalisme muncul setelah para
pemuda belajar di Belanda atau belajar dari pemerintah jajahanyang memunculkan
nasionalisme modern karena melampaui batas-batas etnis.
Untuk
membentuk negara lebih sulit daripada membentuk pemerintahan khususnya bangsa
yang majemuk seperti Indonesia. Agar terbentuk negara modern harus memiliki
wawasan kenegaraan dan dasar-dasar kultur Politik Nasional yang bersifat
abstrak dan lembaga-lembaga negara yang bersifat konkrit untuk mewujudkan
kepentingan rakyat. Perlu adanya integrasi nasional yang solid.
Dalam
merancang lembaga-lembaga negara Indonesia bersumber dari :
- Esensi kultur politik tradisional yang dianut masyarakat Indonesia yang sifatnya majemuk
- Faham atau institusi kenegaraan modern yang dianut pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Dari
faham dan institusi kenegaraan modern disepakati bahwa paham negara yang
berdasarkan hukum, bentuk negara yang republik, kedaulatan rakyat atau
demokrasi, pemilihan umum, sistem pemerintahan presidensiil, pengawasan oleh
dewan perwakilan rakyat, otonomi daerahdan jaminan hak warga negara dan
penduduk. Dengan kesepakatan tersebut maka terbentuklah negara Indonesia.
3.3.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Rasa Nasionalisme di Indonesia
Banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi rasa nasionalisme di Indonesia, faktor-faktor
ini sangat berpengaruh kepada tingkat atau kadar ataupun seberapa tinggi rasa
nasionalisme yang tertanam di masyarakat Indonesia ini.
Faktor-faktor
tersebut adalah :
3.3.1.
Faktor Ekonomi
Pada
tahun 1997, dunia dilanda krisis moneter yang menjalar dari mexico, terus ke
Asia seperti Jepang, Korea, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Negara-negara di
asia seperti Jepang, Korea, Thailand, dan Malaysia cepat keluar dari krisis,
karena Negara-negara itu kuat dasar perekonomian dan mempunyai upaya yang kuat
dan etos kerja yang tinggi ingin cepat-cepat keluar dari krisis. Akan tetapi di
Indonesia, krisis moneter ini amat membuat Indonesai terpuruk. Kemiskinan,
pengangguran, perekonomian yang lemah, krisis politik, krisis kekuasaan, bahkan
krisis kepercayaan dan yang paling parah krisis nasionalisme. Tingkat
kemiskinan yang tinggi dan pengangguran yang dimana-mana membuat rasa akan
bangga terhadap bangsa Indonesia memudar. Rasa percaya pun ikut hilang, dan
timbulnya berbagai macam kecurigaan yang berlebihan ikut memperburuk dan
memperumit masalah bangsa ini. Keterkaitan rendahnya rasa nasionalisme dengan
ekonomi adalah dimana kita dapat melihat dan menyimpulkan bahwa seseorang yang
miskin ataupun pengemis, pengamen dan sejenisnya pastinya jauh dari pikiran apa
yang bisa kita berikan pada bangsa dan Negara ini. Mereka lebih mementingkan
urusan perut mereka sendiri. Karena memang itu seharusnya jika kitapun berada
pada situasi yang sama. Artinya memang rendahnya rasa nasionalisme sangat
berkaitan erat dengan faktor ekonomi. Bisa dikatakan jika dengan penghidupan
yang layak seperti maka kesadaran akan rasa nasionalime yang tumbuh dari diri
kita sendiri akan sangat subur.
3.3.2.
Faktor Budaya
Budaya
merupakan faktor utama yang bisa dibilang menentukan rasa nasionalisme suatu
bangsa. Dalam faktor ini budaya negative baik dari budaya barat ataupun dari
budaya internal masyarakat kita berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya rasa
nasionalisme. Apabila dilihat lebih jauh budaya barat lebih kepada gaya hidup
mereka seperti free sex, loyal, dan serba bebas lainnya membuat rasa akan cinta
tanah air khususnya Indonesia semakin terkuras, sebagai contoh kita lebih
banyak melihat masyarakat khususnya para remaja yang lebih mengagung-agungkan
tokoh-tokoh lain yang bisa dianggap tidak sesuai dengan jati diri bangsa, dan
membuat mereka lupa akan rasa yang pernah kita miliki bersama disaat meraih
kemerdekaan dari penjajah. Yaitu rasa persatuan dan kesatuan, rasa nasionalisme
yang tinggi dan rasa yang menginginkan adanya perubahan.
Ditambah
lagi dengan bermacam-macam suku bangsa di Indonesia ini yang tentunya lebih
banyka perbedaanya dibandingkan dengan persamaan, yang tentu saja dapat
menimbulkan konflik-konflik internal bangsa, seperti kejadian di Madura dan
Maluku serta Jakarta beberapa decade silam lalu. Hal tersebut memang bias
dibilang telah menodai rasa Nasionalisme kita sebagai bangsa Indonesia. Dan
bagaimana mungkin kita akan dianggap sebagai bangsa yang menghargai sejarah dan
Nasionalisme tinggi jika dengan hal yang kecil pun kita mudah sekali dipecah
belahkan. Oleh sebab itu pastinya factor ini sangat berpengaruh terhadap rasa
nasionalisme di Indonesia.
3.4.
Mengukur Tingkat Nasionalisme Masyarakat Indonesia
Dalam
hal ini memang susah untuk mengukur tingkat Nasionalisme bangsa Indonesia
secara matematis. Akan tetapi dari berbagai faktor yang mempengaruhinya kita
dapat juga mengira-ngira bagaimana tingkat Nasionalisme yang dimiliki bangsa
Indonesia saat ini.
Faktor
ekonomi dan budaya yang telah dibahas diatas memang sangat berperan dalam rasa
Nasionalisme Bangsa Indonesai karena bagaimana akan bisa membanggakan bangsa
dan Negara ini jika kemiskinan masih banyak, pengangguran masih numpuk, tingkat
kriminalitas makin tinggi. Orang pun akan memikirkan dua kali jika mugkin
ditanyakan apakah anda cinta dengan bangsa dan Negara ini?. Tapi tentunya
pendapat orang berbeda tergantung dari pemikiran mereka, akan tetapi sebagain
masyarakat indonesiakan masih berada di garis kemiskinan. Dengan kata lain
pemikiran itu mungkin saja bisa dibenarkan.
Contoh
lainnya yang bisa dibilang mengurangi dan mengotori rasa nasionalisme adalah
dimana banyaknya kasus korupsi bahkan kolusi dan nepotisme yang jelas sekali
membuat Negara ini tetap dalam keadaan terpuruk. Bagaimana mungkin orang yang
benar mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi dapat menguras harta yang bukan
haknya. Harta yang seharusnya untuk kemakmuran masyarakat. Apalagi kasus-kasus
yang menyangkut para elit politik dan orang nomor sekian di Indonesia. Itu
sudah menodai nasionalisme.
Ditambah
lagi perbedaan sedik saja di negeri ini bisa jadi masalah besar. Contohnya
dalam masalah supporter sepak bola yang sering terjadi kerusuhan, pengrusakan
dan tawuran antar supporter, rasisnya para suporter. Kapan bangsa Indonesia ini
akan dewasa dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi jika adanya perbedaan
sedikit saja bisa jadi masalah besar?
Kapan
Indonesia akan seperti Negara Jepang yang bisa dibilang jiwa patriotisme dan
nasionalisme sangat tinggi sekali. Jika kita Tanya saja pada masyarak mungkin
saja masih banyak yang tidak tahu Pancasila, padahal pancasila bisa dibilang
wadah tempat menyatukan berbagai penghalang yang menghantui bangsa Indonesia
ini.
Tapi
rasa optimis ini akan terus ada karena dari gejala situasi saat ini. Sebagai
contoh pengakuan budaya batik oleh Negara tetangga menimbulkan rasa persatuan
dan nasionalisme sebab kita pun tidak mau budaya bangsa yang asli kita miliki
menjadi hilang begitu saja menjadi milik orang. Rasa tersebut timbul dari rasa
senasib untuk memiliki bangsa Indonesia ini. Akan tetapi jika rasa itu tidak di
imbangi dengan rasa penghormatan terhadap bangsa dan Negara lain maka akan
menimbulkan sikap cauvinisme.
Sikap
yang mengagungkan bangsa dan Negara sendiri tanpa menghormati bangsa dan Negara
lainnya.
Rasa
optimis itu tentu saja harus diimbangi dengan pembenahan diberbagai aspek
kehidupan seperti pembenahan system perekonomian dan perpolotikan serta system
hokum yang bagus. Karena sekali lagi jika faktor yang mempengaruhinya kurang
baik maka Indonesia akan tetap tertinggal dan rasa nasionalisme itu mungkin
saja akan menghilang dan rasa percaya terhadap para pemimpin akan habis. Dan
tentu mungkin apa yang kan diprediksikan setelah itu adalah mungkin saja kita
akan mengalami evolusi seperti tahun 98? Tapi saya harapkan tidak demikian
karena kita yakin masih punya semangat untuk menjadi yang lebih baik lagi.
3.5.
Menegakan Kembali Ideal Nasionalisme Indonesia
Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia yang
merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme
Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan
kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17
Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia
sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah
berdirinya negara Republik Indonesia.
Substansi
Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik,
dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala
bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi
tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks
Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa
Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan,
"Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Kegagalan
atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya proses penipisian
kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan
disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan dewasa ini.
Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan dalam memperbaiki
kerusakan-kerusakan negara dewasa ini.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
- Kesimpulan
Rasa
Nasionalisme di Indonesia telah ada dari jaman perjuangan melawan para penjajah
hanya tahun demi tahun mengalami penipisan karena adanya banyak faktor yang
mempengaruhinya. Diantaranya faktor perekonomian yang mana menimbulkan banyak
masalah pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Rasa Nasionalisme itu harus
kita pupuk ulang agar tidak hilang ditelan masa. Negara Indonesia sendiri
menganut Nasionalisme Pancasila yang mana dalam Nasionalisme ini kita tidak hanya
mencintai Bangsa dan Negara Indonesia sendiri tapi juga menghormati Negara dan
bangsa lainnya.
- Saran
Untuk
dapat memupuk kembali semangat nasionalisme bangsa Indonesia, salah satunya
bisa juga dengan lebih menekankan pada pembenahan bidang perekonomian terlebih
dahulu supaya tingkat kemiskinan kita berkurang. Karena jika kita sudah menjadi
bangsa yang Adil dan Sejahtera Niscaya Rasa Nasionalisme kita pun akan tinggi
dan Rakyat semakin bangga dengan bangsa dan Negara Indonesia tercinta ini.
Langganan:
Postingan (Atom)